Abdul Rofie Abu Zidan*
Di kalangan masyarakat awam sering berkembang asumsi bahwa golongan Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA) hanyalah orang-orang NU, dan mereka beranggapan kalau bukan orang NU berarti bukan termasuk golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan kalau bukan golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah berarti tidak bisa masuk sorga. Adalah sebuah pemahaman yang keliru yang harus diluruskan. Kenapa demikian? Karena bukan berarti setiap orang yang tidak masuk sebagai anggota (baca: Jama’ah NU ) adalah bukan termasuk golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Perlu kita ketahui bahwa NU hanyalah sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang azas dasarnya adalah Aqidah Islam yang kebetulan menganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dengan demikian gelar Ahlussunnah Wal jama’ah tidak hanya milik orang NU, orang lain di luar organisasi NU pun punyak hak untuk menyandang predikat Ahlussunnah Wal Jama’ah asalkan orang tersebut beraqidahkan Islam dan selalu berpegang teguh dengan ajaran Al-qur’an dan Al-hadits serta dalam hukum fiqih mengikuti salah satu faham dari madhab empat.
Karenanya jangan lagi pernah ada ungkapaan-ungkapan yang mengatakan bahwa “kalau bukan orang NU berarti bukan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan kalau bukan orang Ahlussunnah Wal jama’ah tidak bisa masuk sorga”. Kalau ungkapan itu dibenarkan maka konsekwensinya adalah para sahabat Nabi zaman dahulu atau para Wali Songo tidak bisa dikatakan sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak bisa masuk sorga, mengingat pada zaman Sahabat Nabi dan zaman Wali Songo belum lahir organisasi NU, apa seperti itu pengertiannya? Padahal jaminan tiket masuk sorga orang NU sekarang dengan para Sahabat Nabi dan para Wali Songo itu jauh lebih besar para Sahabat Nabi dan Wali Songo ketimbang orang-orang NU seperti kita semua saat ini.
Konsep ASWAJA sebenarnya masih terjadi pro-kontra di kalangan Ulama NU. Ada dua pendapat dalam menetapkan konsep ASWAJA. Pendapat pertama mengatakan bahwa Aswaja adalah sebuah madhab, sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa Aswaja sebagai Manahijul Fikr (metodologi berfikir).
Konsep Aswaja sebagai mdhab yang telah dirumuskan oleh Al-maghfurlah KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) adalah sebagai berikut :
1. Dalam disiplin ilmu fiqih mengikuti salah satu faham dari Madhab empat;
2.
3. Dalam disiplin ilmu tauhid (ilmu kalam) mengikuti faham Abu Musa Al-asy’ari dan Abu Hasan Al-maturidi;
4. Dalam disiplin ilmu tasawuf mengikuti pandangan Imam Al-ghazali dan Imam Al-Junaedi.
Namun konsep Aswaja tersebut diatas yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pernah dikritisi oleh KH. Said Aqil Siradj (Ketua PBNU). Beliau menawarkan konsep Aswaja sebagai Manhajul Fikr. Beliau mendefinisikan bahwa Aswaja adalah methode berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan, dan berdiri di atas prinsip keseimbangan (balance), jalan tengah dan netral dalam aqidah, penengah dan perekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, serta keadilan dan toleransi dalam politik. Sehingga Aswaja menjadi perekat antara kelompok dan golongan, menjadi tasammuh (toleran) dengan orang non Aswaja, dan dengan orang non Muslim sekalipun.
APA ITU AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ?
Menurut Dr. Jalal M. Musa bahwa pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah itu ada 2 (dua) macam :
1. Pengertian Aswaja secara umum
Adalah apabila kalimat Ahlussunnah Wal Jama’ah diartikan dari kalimat ke kalimat, kalimat Ahlussunnah Wal Jama’ah itu terdiri dari 3 (tiga) kalimat yaitu: 1. Ahlun 2. Assunnah 3. Al-jama’ah. Pertama kata “Ahlun” berarti keluarga, golongan atau pengikut. Dan kata “Assunnah” berarti sabda, perbuatan dan ketetapan hukum Nabi Muhammad Saw. atau lebih populer disebut dengan istilah Al-hadits. Sedangkan kata “Al-jama’ah” berarti kumpulan atau kelompok para sahabat Nabi (jama-atussohabah), tabi’in dan tabi’ittabi’in. Dari pengertian tersebut diatas maka, pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum adalah golongan atau kelompok orang-orang yang selalu setia mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Rasul sebagaimana yang diamalkan oleh para sahabat Nabi pada zaman dahulu dan para Ulama-usshalihin pada zaman sekarang.
2. Pengertian Aswaja secara khusus
Kalau melihat pengertian Aswaja secara khusus seseorang bisa dikatakan sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah apabila :
1. Dalam hal I’tikad mengikuti pandangan Abu Hasan Al-asy’ari;
2. Dalam hal tariqoh/tasawuf mengikuti fatwa Imam Ainul Qosim Al-Junaidi dan Imam Al-ghazali;
3. Dalam hukum fiqih/syariat Islam mengikuti salah satu dari Madhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semua orang (NU atau bukan NU) bisa dikatakan sebagai golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah asalkan mereka beraqidahkan Islam dan selalu berpegang teguh dengan ajaran Al-qur’an dan sunnah Rasul dan dalam ubudiyah keseharian baik yang berkaitan dengan masalah tauhid (ketuhanan), tariqoh/tasawuf ataupun dalam masalah fiqih mengikuti pendapat Imam-imam tersebut di atas. Sebaliknya orang NU pun bisa dikatan bukan golongan Ahlussunnah Wal jama’ah apabila perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari sudah inkar dengan ajaran Al-qur’an dan Al-hadits dan atau dalam mengamalkan hukum-hukum fiqih/syariat Islam sudah menyimpang dari fatwa-fatwa salah satu Ulama dari empat madhab yang ada.
Ironis memang, jika ada seseorang yang selalu memproklamirkan dirinya sebagai orang NU, dengan berbagai atribut dan almamater ke-NU-an yang selalu mereka pertontonkan tapi ternyata amaliyah, prilakunya menyimpang dari ajaran Al-qur’an dan Al-Hadits, dan bahkan tidak mengakui dengan segala prodak hukum yang telah difatwakan oleh mayoritas Ulama terdahulu (Ulama salaf), ini sungguh sangat memalukan. Logikanya apa artinya KTP kita beragama Islam sementara kita tidak pernah shalat, apa artinya kita mengaku sebagai seorang muslim sementara kita tidak pernah melaksanakan puasa Ramadlan atau kewajiban lainnya, apa artinya kita punya anak bernama Muslimin, tapi kepribadinya tidak pernah mencerminkan sebagai seorang muslim.
Dalam kaitanya dengan puasa Ramadlan kali ini, kita bisa menilai kepribadian seseorang tidak melihat dari latar belakang organisasi yang mereka ikuti. Tapi kita bisa menilai kepribadian seseorang apakah dia termasuk orang Ahlissunnah Wal Jama’ah apa bukan ? Adalah dari amal ibadah dan perbuatan yang mereka kerjakan selama bulan Ramadlan dan bahkan di luar bulan Ramdlan sekalipun, apakah dia melaksanakan puasa sesuai dengan ajaran Al-qur’an, Al-hadits atau tidak ? Mereka melaksankan shalat tarawih apakah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau Nabi dan para Ulama terdahulu?
Karena sekarang banyak orang yang mengaku orang Islam tapi dalam melaksankan ibadah puasa atau ibadah lainnya dan bahkan dalam menentukan awal bulan Syawal (Idul Fitri) dia sudah keluar dari apa yang telah diajarkan oleh para Ulama Salaf (Ulama dahulu) bagaimana tata cara menetapkan awal Ramadlan atau awal bulan Syawal, dan bahkan sebagaian kecil dari golongan mereka yang mengatasnamakan Islam ada yang berani melawan keputusan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadlan atau awal bulan Syawal (Idul Fitri). Ini barangkali orang Islam yang hanya sekedar ingin mencari popularitas tanpa mempertimbangkan kebenaran dengan apa yang mereka lakukan, yang pada akhirnya bukan pahala yang mereka dapatkan, tapi hanya dosa yang mereka peroleh. Bukan nikmat sorga yang mereka rasakan, tapi pedihnya api neraka yang mereka rasakan.
Akhirnya kita hanya bisa berdo’a semoga kita semua termasuk golongan orang-orang Ahlussunnah Wal Jama’ah yang selalu berpegang teguh dengan ajaran Al-qur’an dan Al-hadits dan berpegang teguh dengan fatwa-fatwa para Ulama-usshalihin terdahulu. Semoga Allah Swt. senantiasa menjaga aqidah dan keimanan kita semua sampai akhir hayat nanti agar kita semua tidak tertipu oleh segala bujuk-rayu ajaran-ajaran yang sesat dan menyesatkan yang dapat menjerumuskan kita ke dalam kobaran api neraka. Naudzu Billahi Mindzalik, Wallahu A’lam Bissowab.
• Penulis adalah Pengurus Yayasan Pon-pes Asy-syafi’iyah Kedungwungu Krangkeng Indramayu.