Oleh. A. Muntaha Afandie
Tuhan telah memberikan “mukjizat” pada wali sanga, dewan wali yang beranggotakan sembilan orang dai, berupa akulturasi budaya.
Konon, Tuhan memberikan mukjizat pada duta-duta besar-Nya di bumi sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Ia memberikan “sihir” putih pada Musa ’alaihi al-salam untuk berhadapan vis a vis dengan penyihir hitam Ramses; Ia turunkan kitab suci berbahasa sastrawi tinggi tak tertandingi pada nabi yang hidup diantara kerumunan pujangga ternama.
Keduanya sukses. Tuhan tak mungkin salah memberi “senjata”.
Begitu juga ketika Yang Maha Kuasa mengirimkan duta besar-Nya ke tanah Jawa, Tuhan memberi mukjizat akulturasi budaya. Sebab, masyarakat Jawa, khususnya, dan umumnya nusantara, adalah masyarakat yang plural: beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Meskidemikian, perbedaan bukan samudera pemisah untuk hidup bersama: meski berbeda-beda, tetap satu.
“Bhineka tunggal ika,” Mpu Tancra memproklamirkan asas persatuan penghuni bumi nusantara nan majemuk agar hidup toleran.
Untuk itu, agar dapat menundukkan mereka Tuhan memberi mukjizat akulturasi budaya, seperti Nabi Muhammad menaklukkan masyarakat yang gila sastra dengan ”mukjizat sastrawi”, dan penyihir Fir’aun dengan ”sihir” Musa.
Dengan akulturasi, mereka berhasil mengislamkan tradisi berkorban dan mabuk-mabukan ketika ada salah seorang kerabat yang mangkat, dengan tahlilan.
Tradisi ini dibawa oleh penyebar Islam di Nusantara dari negeri tetangga: Champa. Kaum muslim di sana sudah lebih dahulu tahlilan, saat penghuni negeri kita masih kental dengan kepercayaan lokal.
Syahdan, saat itu, jika ada kerabat yang meninggal dunia, orang-orang Jawa meyakini bahwa arwah tak mau berpindah ke alam baka kecuali mengajak serta salah satu orang dekatnya. Maka, kerabat dekat dan teman-teman keluarga yang seeang berduka begadang malam, dan pihak keluarga menyembelih hewan sebagai kurban dan pengganti arwah untuk menemani jenazah agar tidak datang untuk ”mengajak” salah satu kerabat sebagai teman ke alam baka.
Melihat ini, sebagian wali songo, tergerak hatinya, untuk melakukan “islamisasi” tradisi. Dewan wali menghapus hal-hal yang tak islami, diganti dengan muatan-muatan agama. Begadang malam yang diisi permainan judi dan mabuk-mabukan, mereka ganti dengan bacaan-bacaan ayat-ayat suci, shalawat nabi, dan kalimah al-tahlil.
Tahlilan. Itu nama yang kita kenal saat ini. Salah sebuah hasil excellence innovation (bid’ah hasanah) penyebar Islam. Tahlilan hanya secuil contoh dari kesuksesan wali sanga menaklukkan jawa, terus menjalar ke pulau lain melalui dakwah ramah murid mereka. Dengan akulturasi budaya, penduduk Jawa suka-rela mengucapkan dua kalimat shahadat di depan mereka, tanpa perang.
Justru siar panjang tanpa pedang seperti ini, tanpa campur tangan politik dan/ atau khilafah islamiyyah, yang bisa bertahan lama. Hasil analisan Prof. Abdelmajid Charfi, dosen senior Peradaban dan Pemikiran Islam di Département D’Arabe, Université de la Manouba, Tunisia. Dalam bukunya Maji’iyyāt al-Islām al-Siyāsi.
Jauh berbeda dengan penyebaran Islam di negara-negara Arab yang melalui bayang-bayang bendera perang.
Maka, menurut hemat penulis, kita harus mempertahankan metode dakwah dewan wali sanga: siar panjang tanpa pedang, tapi melalui pendekatan budaya. Tentu tidak seutuhnya meniru gaya berdakwah mereka, kita tetap berjalan diatas rel kreatifitas, sesuai dengan adagium: al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah, mempertahankan hal lama yang masih relevan dengan mengadopsi kebaruan yang lebih membuahkan hasil optimal (maslahah).
Saya tidak bisa membayangkan bila dulu wali sembilan berdakwah menggunakan pentungan, teriak-teriak lantang nama Tuhan, namun belum tentu membuahkan hasil maksimal.
Tuhan telah memberikan “mukjizat” pada wali sanga, dewan wali yang beranggotakan sembilan orang dai, berupa akulturasi budaya.
Mukjizat secara leksikal adalah keistimewaan seseorang yang belum tentu bisa dikerjakan dan/ dimiliki orang lain. Dengan keistimewaan berupa kemampuan merubah tradisi-tradisi kejawen jadi tradisi dan amalan islami, mereka berhasil mengislamkan Jawa tanpa mengorbankan nyawa. Mereka mengapresiasi kearifan budaya lokal, tanpa kehilangan substansi berdakwah.
Dengan kata yang berbeda: “menanamkan” ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi masyarakat. Sehingga mereka tidak merasa “terhina”. Lihat contoh lain, misalnya, lakon wayang yang semula bernuansa Hindu, “diislamkan” oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalimasada. Bukan hanya itu, penonton diajak bershahadat, mengakui keesaan Tuhan dan kenabian Muhammad, sebelum menyaksikan pertunjukan inovasi ekselen di dunia seni.
Jadi, bidah itu hasanah, excellence innovation, metode dakwah yang berhasil mengislamkan negeri kita. Sebuah mukjizat akulturasi budaya wali sanga.
Maka, bagi yang masih terbelenggu iman lama– melihat tahlilan sebagai tradisi Hindu-Budaya yang tak punya cantolan hukumnya– bacalah buku-buku karya Agus Sunyoto. Kecuali jika ingin terus tersesat dalam persepsi. Bahkan, setelah saya meninggalkan negeri sendiri untuk melanjutkan pengembaraan intelektual ke Libya dan sekarang di Tunisia, saya semakin tahu, tahlilan bukan hanya tradisi local yang diekspor dari Champa, seperti sudah saya singgung diatas, tahlilan adalah tradisi global kaum sunni. Saat di Libya saya sering mendapatkan undangan tahlilan, begitu juga sekarang di Tunisia.
** Penulis mahasiswa Département D’Arabe Université de la Manouba.