Berpuasa Tetapi (Masih) Belum Bertakwa

Oleh: H Nasrulloh Afandi, Lc, MA

Di bulan Ramadan hanya ada dua pilihan; beruntung atau buntung (dalam beribadah). Ramadan bukan momentum kesalehan musiman, kemudian “tidak perlu” saleh di bulan-bulan lainnya, dan hanya akan(kembali) beramal saleh pada Ramadan tahun berikutnya. Ramadan adalah momentum spesial “Karantina Suci” satu bulan penuh, menggembleng jiwa-jiwa yang beriman kepada Allah SWT untuk lebih unggul, agenda puncaknya yaitu menggapai Takwa.

Identiknya suatu karantina, baik buruknya hasil tergantung pada kemauan dan keseriusan pribadi peserta. Begitu juga dalam karantina bernama Ramadan ini, pasca Ramadan berbeda-beda hasilnya, dari masing-masing “peserta”, ada yang mendapatkan hasil maksimal, ada yang sederhana. Inilah miniatur bermacam-macam kondisi (ketakwaan) orang-orang beriman selepas mengarungi “lautan mutiara” bernama bulan Ramadan nanti.

Membasmi Rekomendasi Setan

Faktor utama yang membedakan puasa dengan ibadah lainnya, adalah sebagaimana Hadits Qudsi:
“Setiap amal anak Adam itu untuknya, kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.” (HR Buchori dan Muslim).

Selain (Ramadan) yang cuman setahun sekali. Jika diselami, sebenarnya setiap orang beriman, estafet diberi “reminder” panduan prinsip ikhlas beribadah, harus berniat murni hanya untuk mengharap ridha Allah SWT, sehari semalam dalam salat lima kali. Yaitu di rakaat awal ketika membaca doa iftitah(sebelum membaca surat Al-Fatihah, yang berbunyi;

“Inna Solati Wa nusuki Wa mahyaya wa mamati lillahi robil A’lamin.”
Artinya: “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am: 162)

Di konteks ini, juga ada momentum mingguan. Hari raya setiap minggu, yaitu setiap hari jumat, orang-orang beriman dianjurkan melakukan introspeksi diri (muhasabah nafs) atas amal-perbuatannya selama satu minggu, banyak mana antara amal buruk dan amal baiknnya dalam seminggu itu? Untuk kemudian meningkatkan ketaatan beribadah, menggapai takwa.

Karena itulah, Sang katib jumat pun disyaratkan dalam berkutbah untuk berpesan kepada para jamaahnya; untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT. Bahkan tidak sah khutbahnya jika meninggalkan pesan untuk takwa.

Inilah dua momentum introspeksi (muhasabah an-nafs) harian dan mingguan, namun sering terabaikan.

Diantara fenomena terbesar yang “direkomendasikan” oleh setan, untuk menggembosi kualitas ibadah, yaitu memperlihatkan bahkan memamerkan di mata publik manusia sekecil apapun amal ibadah, sekaligus mengharap sanjungan dan pujian. “Rekomendasi setan” semacam inilah hal dominan yang bertabrakan dengan autentisitas ibadah puasa, dan harus dimusnahkan dari setiap pelaku ibadah.

Mencampakkan nafsu menggapai takwa

Dalam tinjauan Maqosid Syariah (tujuan syariat) bukan hanya ibadah puasa Ramadan, namun semua ibadah adalah tangga untuk menggapai posisi tertinggi dalam Islam; bernama takwa. Dan diharapkan setelah Ramadan takwa itu kemudian melekat pada kepribadian orang-orang muslim, yang secara estafet akan melahirkan hal-hal positif dan unsur-unsur kemanfaatan dalam kehidupan ‘si muttaqin’ (orang bertakwa) Dan di sinilah titik temu ibadah puasa Ramadan dengan ibadah-ibadah lain seperti haji, zakat dan berbagai ibadah lainnya.

Ia juga adalah “bahan baku” untuk menciptakan peradaban Islami manusia. Karena dengan takwa otomatis menjadikan pribadi manusia terhormat. Mencampakkan hal-hal yang kurang patut menurut agama dan norma suatu bangsa. Dengan kata lain, menjauhkan diri dari fenomena-fenomena jahiliyah (egois, rakus kekuasaan, sombong, gila hormat, menumpuk harta dan sejenisnya)

Perspektif fikih – Apalagi tassawuf-, ibadah terbaik adalah yang dilakukan secara sirri (diam-diam). Semakin tidak dilihat oleh banyak orang, semestinya adalah pertanda ibadah tersebut semakin ikhlas dilakukan, berniat murni mencari ridha Allah SWT. Bukan tujuan lainnya, jauh mencari sanjungan sesama manusia (riya) atau mencari popularitas di kancah publik (sum’ah)

Para ulama fikih konsesus, bahwa syarat mutlak diterimanya ibadah (orang beriman) adalah harus dilandasi kesucian niat awalnya. Semakin ikhlas niat mengharap ridha Allah SWT dalam berbagai ibadah (puasa dan lainnya), smakin mendekati pula ia pada posisi diterimanya amal ibadah, berbuah takwa.

Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitabnya “Zadu Al-Ma’ad” berpendapat: “Ketika manusia melaksanakan puasa (Ramadan) meninggalkan makan minum, meninggalkan nafsu kesenangan dunia dan berbagai hal yang menyenangkan dirinya, tidaklah ada maksud untuk disaksikan oleh sesama manusia, tetapi murni untuk mencari keridaan Allah SWT, itulah posisi puasa Ramadan yang sebenarnya.”

Imam Al-Ghozali Sang Hujjatu Al-Islam, dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang sangat terkenal di kalangan pesantren tradisionalis dan akademis modern, menyatakan; exclusivisme puasa Ramadan itu dua hal.

Pertama: Puasa Ramadan adalah amal bathin yang tidak tampak di mata sesama manusia, sehingga jauh dari fenomena ria (mencari sanjungan) di hadapan sesama mahluk. Hal itu berbeda dengan ibadah lainnya, seperti salat atau sedekah yang mudah disaksikan oleh mata publik manusia.

Kedua: Puasa Ramadan menaklukkan musuh-musuh Allah SWT, yang bersemayam pada manusia, berupa nafsu. Karena peluang musuh-musuh Allah SWT dalam menggoda manusia, adalah melalui jalur nafsu. Sedangkan nafsu menjadi kuat ketika ”dimanjakan” dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia. Selagi “medan syahwat” itu dibiarkan, maka setan akan tetap leluasa berlalu-lalang di situ. Namun dengan (berpuasa) mencampakkan nafsu, otomatis mempersempit gerak setan (untuk menggoda manusia)

Saat “Karantina” Ramadan ini, langkah utama setiap manusia beriman harus serius melakukan pelatihan Bathiniyyah (rohani) dengan penanaman hal-hal religius, dan pilihan dalam konteks agama (Islam) mencampakkan hal-hal naif yang bersumber dari nafsu murahan; birahi, iri, dengki, benci, takkabur, dan hal-hal lain yang tidak patut dalam takaran agama maupun norma sosial.

Proses tersebut, manfaaatnya akan kembali untuk individu mukmin (orang beriman) itu sendiri. Di konteks ini menurut Syeikh Doktor Ali Jum’ah, Mufti negara Mesir: “Orang yang telah berada pada posisi benar-benar takwa, Ia otomatis mendapatkan keuntungan, bukan hanya dalam konteks beragama (Ukhrowi) Tetapi juga mendapatkan kemudahan dan kesuksesan dalam hal duniawi.”

Untuk Apa (Takwa) Setelah Ramadan?

Hal terpenting untuk diperhatikan dan dievaluasi adalah, apa yang dihasilkan setelah proses “karantina” selama satu bulan Ramadan itu selesai? Bukan hanya dominan berlebihan gegap gempita, dalam aktivitas fisik saat “Karantina” belaka, tanpa penghayatan mendalam, agar karantina (Ramadan) yang dibayar dengan “ongkos” haus dan dahaga selama sebulan itu, tidak sia-sia.

Idul Fitri adalah awal kembali suci, setelah segala noda, dosa, dan sifat-sifat tak terpuji dibersihkan dalam ruang karantina bernama Bulan Ramadan. Oleh karenanya, sudah semestinya manusia menjaga kesucian tersebut setelah Ramadan usai – di tandai dengan hari Raya Idul fitri, sampai dengan datangnya Ramadan berikutnya.

Dalam konteks menjaga kesucian Ramadan setelah Idul Fitri. Nasehat salah seorang Pak kiyai pesantren di Jawa, pada penulis dengan bahasa sederhana: “Janganlah panas setahun, Sirna hanya diguyur hujan sesaat” . Maksudnya, janganlah kesucian pribadi Muslim yang sudah dibersihkan, susah payah (selama bulan Ramadan) itu kembali dikotori dengan kemaksiatan dalam sekejap, setelah Ramadan berlalu.

Ibarat kendaraan mewah, pasca Ramadan, manusia adalah habis melakukan perbaikan total, atau “turun mesin”, sudah semestinya harus dijaga, agar jangan kembali rusak hanya dalam hitungan detik, setelah keluar dari “bengkel spesialis” bernama Ramadan.

Ramadan ladang mutiara bagi yang memfungsikan momentum itu sebaik-baiknya. Namun Ia bukan apa-apa bagi orang yang salah jalan dalam menelusurinya.

Sungguh kerugian besar Jika Pasca Karantina tidak menghasilkan hal-hal positif (Takwa) Dan hal-hal yang terkait dengan ketakwaan setelah Ramadan berlalu. Kerugian tersebut bukan hanya karena dibayar dengan jerih payah haus-dahaga satu bulan penuh. Tetapi yang lebih harus ditangis-sesali adalah lewatnya peluang “Tambang mutiara” setahun sekali yang bernama bulan Ramadan itu.

Qoidah Fikih pun menegaskan: “al-Umuru bi Maqosidiha” (status suatu amal perbuatan, itu terganggun ikhlas dan tidaknya niat) Jadi kalau menjalankan ibadah puasa Ramadan, tetapi tanpa disertai niat baik dengan bertujuan meningkatkan religiusitas selepas Ramadan, untuk apa berpuasa?

Alhasil, saya berpendapat, dalam tinjauan maqhosid syariah (yujuan syariat) jika selepas Ramadan, tidak tertanamnya ketakwaan pada kepribadian manusia, dan kembali bermaksiat, berartiIa tidak mendapatkan target utama kewajiban beribadah puasa(Takwa) Itu.

Kenapa takwa menghilang?

Kemana dan dimanakah hasil puasa Ramadan yang bernama takwa itu “lari” atau “bersembunyi”? Mulai komunitas “akar bumi” sampai “atap langit” kerusakan akhlak kian menjadi-jadi, korup (Para pemegang jabatan) dan pergaulan bebas (generasi muda) adalah fenomena yang paling mencolok di pentas publik. Bukankah mereka beragama (Islam) dan fisiknya berpuasa setiap Ramadan?

Merespon fenomena itu, publik Muslim Religius tidak perlu heran. Sungguh banyak orang yang berpuasa Ramadan, tetapi mereka (Masih) belum Termasuk golongan orang bertakwa. Karena landasan ibadah cuman “fisik” atau “kulit” belaka. Jadi wajar saja ketika Ramadan usai, tidak “Saleh” atau tidak “Takwa” lagi.

Dalam tinjauan Ilmu Balaghoh, gegap gempita puasa Ramadan di publik Indonesia ini (masih) sebatas pendahuluan (muqoddimah) dan belum menghasilkan kesimpulan (Natijah) posisi kondisi takwa. Perlu adanya introspeksi dari masing-masing individual yang melaksakan puasa Ramadan, untuk bisa menggapai Natijah (Kesimpulan) berpuasa Ramadan, yaitu takwa.

Nabi SAW bersabda:
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.”(HR Turmudzi)

Berapa banyak selepas Ramadan yang (Kembali) Korupsi? Berapa banyak wanita saat Ramadan mendadak berbusana Islami – Pun dengan harga sangat mahal- Tetapi (kembali) Berpakaian mini selepas Idul Fitri? Dan berbagai fenoma lainnya yang (kembali) menabrak rambu-rambu agama setelah Idul Fitri? Waspadalah! Itulah fenomena skandal; Berpuasa Tetapi (masih) Belum Bertakwa.

H Nasrulloh Afandi, Lc, MA
Peneliti (Program Doktor) Bidang Maqoshid Syariah, Universitas al-Qurawiyin Maroko. Anggota Pengasuh Pesantren Asy-Syafi’iyyah Indramayu.

Sumber:
Detik(dot)com
Minggu, 14/07/2013 12:59 WIB
http://ramadan.detik.com/read/2013/07/14/125942/2302019/626/berpuasa-tetapi–masih–belum-bertakwa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!