Nasrulloh Afandi*
Dalam pranata ilmiah, selama ini sangat tragis dan tidak toleransi, terjadinya diskredit terhadap komunitas ibu nyai, dengan fenomena mayoritas ibu nyai hanya dijadikan formalitas sebagai boneka pelengka kharisma kehidupan religius dari komunitas laki-laki yang menyandang gelar kiai, baik kiai asli maupun kiai imitasi(?) di dalam dan di luar institusi pesantren.
Perlu disadari dan jangan menyalahkan golongan lain, bahwa selama ini terus terjadinya pembekuan embrio potensi sumber daya manusia (SDM) komunitas perempuan, sekaligus pembodohan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh komunitas kiai muda atau minimalnya yang menganggap dirinya sebagai calon kiai. Karena sering dengan otoritasnya itu, para kiai atau calon kiai, dengan mudah menganugerahkan gelar nyai, kepada perempuan tertentu yang cocok dengan hatinya dan sering disunting sebagai sang istri dalam usia dini.
Yang umumnya, jelas (para kiai muda) adalah memetik bunga jelita dari golongan keluarga nominasi ”bibit unggul” atau bersumber daya ilmiah potensial. Realitasnya, mayoritas para ibu nyai di pesantren kenamaan sekali pun, sering ditemukan banyak yang tidak jelas kualitas ilmiahnya. Dalam siklus tersebut, fenomena fanatisme pranata masyarakat pun berbondong-bondong mentaati untuk menganggap atau, minimalnya, menyapa ibu nyaiâ kepada perempuan yang telah dibekukan sumber daya ilmiahnya dengan tipuan dijadikan pendamping hidup oleh figur kiai muda tertentu.
Meskipun, sang nyai itu, jelas (tanpa disadari) sering kedapatan ilmu pengetahuan agamanya pas-pasan saja. Inilah, merupakan di antara otoritas sang kiai, yang telah lama terjadi dan dengan sendirinya telah mengkroposi serta membekukan SDM komunitas perempuan yang potensial, sekaligus membodohi dan memaksa masyarakat untuk menghormati (sang nyai) pilihan hati dari sang kiai, meskipun sang nyai itu, tidak jelas kualitas ilmiahnya.
Andree Feilarrd, dalam bukunya, NU vis -a- vis Negara, mengatakan bahwa kiai penuh dengan otoritas, dan otoriternya hanya bisa ditumbangkan oleh kiai lain yang lebih berpengaruh.[1] Tetapi hemat penulis, dalam sektor ini, otoritas sang kiai belum bisa disentuh oleh siapa pun. Di antara resikonya, banyak para ibu nyai, yang nyata-nyata minim kualitas ilmiahnya, semisal nahwu, shorof, mantiq, balaghoh , ushul fiqh, mustholahul hadits dan sejenisnya, sebagai modal untuk melacak ulumus syariah, serta berbagai fan ilmu lainnya, dibatasi pula pijakan berpikir ilmiahnya.
Uniknya lagi, banyak ibu nyai yang diberi kesempatan untuk tahlilan, berjanjian atau maksimalnya menghafal dan menghadiri acara semaan al-Quran, tetapi hanya sebagai ”variasi lisan” saja dan tetap tanpa dibukakan pintu pemahaman terhadap ayat-ayatnya, apalagi kajian yang mendetail lafdziyah (kalimat) dan maknawiyah (arti) serta implementasi kandungan ayat-ayat Alquran yang selalu dihafalkan dan dilantunkannya itu.
Lebih terbelenggulagi ibu-ibu (muslimat) nominasi rakyat jelata. Bahkan naifnya, sering dengan gelar nyai itu, dijadikan jaringan politik dan dimanfaatkan oleh orang-orang bergelar kiai untuk turut andil melakukan pengerahan massa, dengan target kepentingan pribadi atau maksimalnya golongan sang kiai.
Haruskah fenomena tersebut itu dibiarkan? Sehingga, mengakibatkan kebesaran gelar sang nyai, hanya sebagai simbol kelengkapan otoritas dan formalitas dari golongan sang kiai, yang menjadikannya sebagai istri dalam usia dini, minimnya pendidikan bagi komunitas perempuan potensial, dan dengan mudah membodohi masyarakat untuk menganugerahkan gelar nyai. Tentu jawabannya: tidak! Bukan!
Merekonstruksi Kultur
Terkait dengan hal tersebut kondisi sekarang ini, bebarengan dengan semakin meningkatnya pendidikan dan intelektualitas berbagai komunitas wanita bangsa kita. Semestinya kultur masyarakat pun otomatis berubah. Sudah saatnya kita menyatakan sekaligus mensosialisasikan bahwa gelar nyai tidak harus dianugerahkan khusus kepada komunitas istri sang kiai saja.
Sebaliknya, siapa pun istri kiai yang tidak jelas kualitas ilmiahnya, maka sewajarnya untuk tidak menyandang ”honoris causa” nyai. Tetapi, gelar nyai hanya berlaku sebagai ”honoris causa” bagi individual perempuan siapa pun, yang benar-benar punya nilai lebih pengetahuan agama dalam pandangan masyarakat, meskipun bukan istri kiai. Misalnya, ibu nyai dari kota Jakarta, dan seterusnya.
Sungguh sangat disayangkan pula, selama ini mayoritas kultural masyarakat hanya menganugerahkan gelar nyai sebagai honoris causa hasil penularan dari kharisma (ilmiah) sang suami yang bergelar kiai, tanpa adanya pertimbangan meskipun perempuan (ibu nyai) tersebut realitasnya sering kedapatan kualitas ilmiah agamanya tidak jelas alias apa adanya.
Ibu nyai jenis ini terdapat pula di berbagai pondok pesantren kenamaan sekalipun. Tragisnya lagi, pendapat yang penulis ungkapkan ini– belum berlaku bahkan boleh dikata sama sekali belum disadari di tengah-tengah poros dan siklus kehidupan etnis religius.
Substansi Emansipasi Nyai
Kitab Talim al-Muta’allim, merupakan salah satu kitab yang dijadikan pedoman utama pesantren [2] hampir seluruh pondok pesantren yang ada di Indonesia. Selain menekankan akhlaq al-karimah sebagai modal pokok bagi para praktisi ilmu dalam setiap gerak pikir, analisa, dan segala sikapnya. Sehingga, Martin Van Bruneisen menyatakan bahwa ajaran utama pesantren adalah para santri supaya taat kepada para kiainya[3].
Kitab tersebut juga merupakan managemen untuk mengolah efektifitas proses belajar-mengajar. Dan terdapat bahan bakar yang sangat keras membangkitkan gerak ilmiah, dengan ungkapan jadikanlah hari-harimu untuk selalu menambah ilmu dan pengetahuan [4]. Yang perlu dicermati, sedikitpun dalam buku tersebut, tidak ada diskriminasi antara male-female atau mudakkar-muannas alias pria-wanita. Paling santernya kitab itu hanya membedakan posisi antara murid-guru. Semuanya dibangkitkan dan diusung dalam satu posisi dan gerbong yang sama untuk bangkit dalam rel ilmiah semaksimal-maksimalnya. Al Ghozali, dalam konteks ilmiah, hanya menominasikan ilmu fardu ain (kewajiban bagi setiap indifidu) dan fardu kifayah (kewajiban bagi sebagian golongan) hukum mempelajarinya. Sedikit pun dalam gerak ilmiah ia tidak mendiskriminasi apalagi mendiskriditkan terhadap komunitas perempuan[5].
Dr. Fatema Mernissi, salah satu penggerak liberalis feminisme asal Fes, Maroko, dalam bukunya, Le Harem et Iâ Occident, sampul depan buku tersebut terdapat foto (full color) perempuan bugil tanpa sehelai pakain pun, kecuali secarik kain yang melingkar di kepalanya. Adapun (maaf) vagina dan (sekali lagi maaf) puting payu daranya tidak kelihatan karena ditutup oleh paha dan tangannya, tetapi bulatan payu daranya sangat terbuka.
Yang menarik, Dr. Abdullah Syarif, seorang penulis buku best seller, kolumnis, dan dosen di beberapa universitas kenamaan di Maroko, dengan moderat ia berpendapat, ”Melalui foto di sampul depan buku yang cukup tebal tersebut, Mernissi mengekspresikan falsafah bahwa kain penutup di kepala wanita (jilbab, pen) selama ini oleh dunia diasumsikan identik dengan Islam. Tetapi, dengan keislaman itu jangan halang-halangi gerak komunitas muslimah, selagi masih berjalan pada kondisi ada kontrolnya (yang diibaratkan, bagian vital tubuh ditutupi dengan tangan dan paha, dalam foto tersebut)[6].
Terminologi nyai sebagaimana telah dikatakan tadi, dalam pranata masyarakat, telah melekat dan membudaya, dominan bahkan mutlak dimonopoli sebagai honoris causa bagi golongan wanita yang menjadi istri dari seorang yang menyandang gelar kiai, utamanya kiai yang memimpin pesantren.
Misalnya saja, ibu nyai dari pesantren Lirboyo, Kediri, ibu nyai dari kota Indramayu, dan seterusnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak terdapat definisi bahwa nyai adalah gelar kehormatan bagi perempuan yang punya nilai lebih dalam konteks religius, atau gelar bagi tokoh religius dari komunitas perempuan. Paling beruntungnya ”nyai” adalah sapaan bagi orang perempuan yang lebih tua dari yang menyapanya.
Bahkan cukup ironi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, di antara definisi kata nyai adalah gundik atau perempuan piaraan alias istri gelap. Lantas, apa dan dari manakah faktor atau asal-usul gelar nyai disandangkan oleh masyarakat sebagai penghormatan kepada figur perempuan tertentu?
Penulis berpendapat, hal itu kiranya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat Qowaid al-Fiqh (kaidah yang menjadi pilar pembuatan hukum fikih) yang eksis dijadikan salah satu rujukan dalam penerapan hukum, dan sangat bising eksis didengung-dengungkan oleh ummat religius, yaitu,[7] yakni suatu adat atau tradisi (budaya) bisa difungsikan sebagai dasar penerapan hukum (dalam konteks ini, etika bermasyarakat).
Di sisi lain, penulis ingin meng i’lal (melacak asal-usul) kata nyai. Penulis berpendapat, bahwa kata nyai, berasal dari kata ”nyi,” merupakan identitas dan orsinilitas budaya masyarakat (utamanya di Jawa dan Sunda ) yang telah melekat ratusan abad sebagai gelar kehormatan bagi perempuan yang punya nilai lebih dalam bidang tertentu.
Misalnya ”nyi ratu,” gelar bagi istri raja atau raja perempuan. Nyi Tumenggung, gelar kehormatan bagi istri seorang tumenggung. Nyi Demang, gelar bagi istri seorang demang, dan seterusnya. Juga, dalam cerita rakyat, ada kisah nyi Roro Kidul yang dimitoskan sebagai penguasa laut kidul (laut selatan).
Semuanya, penggunaan kalimat ”nyi” di atas adalah ekspresi masyarakat sebagai pengakuan terhadap nilai lebih yang terdapat pada figur wanita tertentu. Kiranya, arkeologi bahasa dari sinilah menyimpulkan asal-usul gelar nyai, yang realitas sekarang dijadikan gelar kehormatan bagi istri seorang kiai. Dan karenanya, kalaulah penulis boleh usul, untuk definisi kata nyai ini, alangkah baiknya jika Kamus Besar Bahasa Indonesia dikaji ulang lagi?
Implementasinya. Gelar nyai, adalah telah melekat dan membudaya sebagai honoris causa dari masyarakat, yang eksis terus diperebutkan oleh berbagai kalangan agar bisa menyabet prestasi untuk bisa meraih gelar tersebut. Termasuk, entah atas dasar atau sebab apa(?), para sarjana perempuan jurusan study dan hidup jauh dari cuaca religius sekalipun, akhir-akhir ini mereka pun ngetren turut aktif dengan segala cara berebut dan bersaing untuk bisa meraih honoris causa sang nyai.
Artinya, gelar nyai masih eksis punya posisi di tengah-tengah pergeseran berbagai aspek hidup dan kehidupan bangsa kita. Di sisi lain, tetap sangat disayangkan, akhir-akhir ini dengan menghalalkan segala cara atau machiavellianisme yang dilakukannya itu, banyak perempuan dengan mudah menempelkan honoris causa ibu nyai untuk modal tampil sebagai tokoh religius, yang mayoritas terjangkit ”flu kronis” sebagai pemikir ke-Islam-an itu. Tentunya, inilah di antara virus yang menggerogoti stabilitas vital etnis ibu nyai. Apakah ilmiah dan logis?
* Nasrul Afandi, anggota pembina pesantren Kedungwungu Krangkeng Indramayu Jawa Barat, alumni dan koresponden majalah MISYKAT pondok pesantren Lirboyo Kediri, siswa biasa Universitas al-Qurawiyien (s1), Mahasiswa Pascasarjana Qodhi Iyadh, Maroko.
Sumber: www.pesantrenvirtual.com
[1] Feillard, Andree. NU Vis- a- Vis Negara, Lkis, Jogjakarta, 1999, h, 5 ; Anam, Choirul , Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya : Jatayu Sala, 1985, h,166.
[2] Di luar pesantren biasa digunakan kalimat akademik.
[3] Van Brunessen, Martin. Kitab Kuning Pesantren Dan Tarikat, Mizan, 1999, h, 18.
[4] al-Zarnuzy, Ta’lim al-Muta’allim, Pustaka al-Alawiyah Semarang, (tt), h, 7.
[5] al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-din, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Libnan(tt), h, 25-54.
[6] Mernissi, Fatema. Albin Michel(ed), Le Harem et Iâ Occident, Paris, 2001.
[7] Ali bin Umar, Abu bakar. Faraidh al-Bahiyah; Fi Qowaid al-Fiqhiyah, pesantren Lirboyo Kediri(tt), h, 42-43
Tulisan ini dibuat pada 2004, awal publikasi di:
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/seputar-pesantren/1001-demokratisasi-etnis-nyai