Oleh: DR. H. Ahmad Najib Afandi, MA
Radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme beragama juga banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Bahkan ekonomi merupakan faktor terpenting yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan ”nyeleneh” dalam Islam. Willian Nuck, penulis buku ”Dinamika Dunia Baru,” menyatakan bahwa radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme, adalah gerakan alamiah dari kaum tertindas akibat ketimpangan ekonomi.
Mukadimah
Sepuluh tahun terkhir dunia (Islam), termasuk Indonesia, terus diguncang pelbagai tindakan terorisme, anarkisme, dan radikalisme bergama (baca: jihad, kenabian, wahyu, dll). Realitas ini jelas bukan sesuatu yang lumrah dan tidak menyenangkan bahkan justru dapat menghancurkan citra Islam. Hal itu secara otomatis telah menjadi PR bagi para ulama dan pemimpin Islam dunia dengan bersama-sama merapatkan barisan, berpegangan tangan untuk maju bersama dalam membangun dan mengembalikan peran dan posisi Islam sebagai agama yang ”rahmatan Lil alamin.”
Radikalisme, fantisme, dan anarkisme dalam beragama dan bermasyarakat sesungghnya penyakit yang lebih besar eksesnya kepada masyarakat dari pada pencurian dan mabuk-mabukan atau mencuri sandal di masjid yang hukumnya kita pelajari sejak Ibtidaiyah, bahwa mabuk dan mencuri hukumnya haram dan harus di had (hukum). Tapi hingga kini banyak kiai dan ustad yang belum mempelajari dan memperhatikan tentang penyakit masyarakat dan agama yang bahayanya jauh lebih dahsyat daripada pencurian, yaitu radikalisme, fanatisme, dan anarkisme dalam beragama. Padahal ketiganya merupakan penyakit yang sering terjadi pada diri kita. Bukankah kita selama ini sering berdebat dengan kelompok dan golongan lain hanya karena faktor ”afdoliyah” (keutamaan) dalam soal ”ubudiyah,” padahal kita sendiri masih sering ”mengkorupsi” syarat dan rukun ibadah yang kita lakukan?
Banyaknya tindakan bom bunuh diri (atas nama jihad), pengakuan menjadi nabi, menerima wahyu dari Jibril, dan penomena keagamaan fenomenal (khilafiyah dan perdebatan paham) yang banyak kita jumpai akhir-akhir ini sesungguhnya merupakan penyakit masyarakat yang harus kita obati dan kita berantas atau paling tidak dapat diminimalisasi. Dan itu harus ditangani oleh para ahlinya, yaitu ulama, kiai, cendikiawan, dan guru.
Maka, dalam kesempatan ini kami mencoba menuangkan beberapa hal yang– menurut hemat penulis– jadi faktor utama timbulnya radikalisme, fanatisme, dan anarkisme beragama.
I. Faktor Intlektual
Umumnya penyebab munculnya pemikiran radikalisme, fantisme, dan anarkisme dalam beragama sehingga sering menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi kita juga kelompok lain terhadap islam, adalah sebagai berikut:
a. Perselisihan antar Ummat dan Kelompok Islam
Hal ini yang sering menjadi pemicunya adalah kebodohan kita sendiri dalam memahami seruan Islam dalam menerima dan menghadapi perbedaan. Dan diantara hal-hal yang sering menjadi sumber perpecahan diantara ummat Islam adalah: (1) Sekulerisme yaitu paham yang mengajak agar manusia menomersatukan dunia dan meninggalkan agama. Sebab agama bagi sekulerisme adalah penghalang kemajuan hidup. (2) Radikalisme beragama yaitu paham yang fanatik dalam menjalankan ajaran Islam secara murni dan menjauhkan diri kemajuan dan kemodernan. Karena bagi mereka kemajuan dan kemodernan adalah kehancuran. Karena itulah kelompok ini tidak bisa dan tidak mau menerima karya, pemikiran, saran, dan pendapat orang lain. Bahkan menganggap pemikiran dan pendapat orang lain sebagai keraguan dan kebohongan yang harus dilawan.
b. Pencemaran Nama Islam dan Muslimin
Islam adalah agama yang ”rahmatan lil alamin,” moderat, toleran, berkeadilan, kemanuisaan, dan mendahulukan kemaslahatan. Namun ketika orang-orang yang tidak paham dengan islam melakukan sesuatu atas nama Islam dan secara berlebihan, sering menimbulkan masalah dan akibat yang justru menimbulkan masalah baru yang dapat merusak citra islam dan ummat Islam. Tindakan seperti itulah yang kini menggerus kebaikan Islam sehingga menimbulkan ketakutan bagi orang lain dengan Islam. Kemudian mereka berani melakukan tindakan seimbang kepada Islam dan ummat Islam. Itulah radikalisme dan terorisme.
d. Tidak dapat Berpikir Jernih dan Hilangnya Budaya Dialog
Ketidakmampuan kita berpikir secara jernih dalam menerima dan menghadapi masalah sesungguhnya merupakan faktor lain yang sering menimbulkan radikalisme dan fanatisme beragama. Dengan demikian, kita telah berubah menjadi orang yang sulit untuk diajak berdialog secara ilmiah, sehingga yang terjadi hanya fitnah diantara kita. Dan hal ini biasanya sebagai akibat dari sistem pendidikan kita yang monoton, hanya memberi pelajaran yang wajib untuk dihafal dan dipahami tanpa pernah memberi ruang kepada akal untuk bertanya dan berpikir.
e. Salah Tafsir dan Salah Pengertian
Sikap dan tindakan kebanyakan orang yang ilmunya pas-pasan dan salah paham atau tafsir dari dalil yang mereka gunakan sesungguhnya faktor utama timbulnya radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme beragama yang pada akhirnya hanya melahirkan perpecahan diantara kita.
II. Faktor Ekonomi
Radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme beragama juga banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi bahkan faktor ekonomi merupakan faktor terpenting yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan ”nyeleneh” dalam Islam. Willian Nuck, penulis buku ”Dinamika Dunia Baru,” menyatakan bahwa radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme, adalah gerakan alamiah dari kaum tertindas akibat ketimpangan ekonomi. Dan berikut beberapa hal penting yang memicu radikalisme, fanatisme dan ekstrimisme yang diakibatkan oleh persoalan ekonomi: (1) Tidak maksimalnya peran Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam mewujudkan kerjasama ekonomi dunia, terutama Islam dan barat. (2) Tidak adilnya PBB dalam menyelesaikan konflik Islam-Barat, seperti Palestina, Irak, Afghanistan, dan lainnya.
III. Faktor Politik
Timbulnya radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme juga sering dipicu oleh persoalan politik secara umum, utamanya adalah: (1) Ketimpangan penerapan dan pemahaman undang-undang dan hukum dan politik internasional maupun lokal. Bagaimana mungkin pemerintah yang membuat undang-undang dan hukum tapi ia juga yang melanggarnya. Begitu juga bagaimana bisa terjadi seorang da’i yang mengajak kepada kebaikan, kedamaian, dan lainnya tapi ia juga sering menjadi pemicu perselisihan di masyarakat? (2) Tidak adanya ketegasan hukum bagi para pelanggar hukum yang telah disepakati. Untuk itulah disini kami mengusulkan adanya dewan pengadilan kiai untuk menyadarkan kiai dan ustad yang ”neyeleneh”, seperti tidak mau mengajar dan berdakwah, misalnya. Mungkinkah? Kelihatanya saru (tidak baik) mengadili kiai, tapi itulah kenyataan yang harus kita hadapi. (3) Campur tangan asing yang memiliki kepentingan dan tujuan terhadap Negara Islam.
IV. Faktor Sosial
Faktor sosial juga dapat memicu lahirnya radikalisme, fanatisme, dan ekstrimisme (beragama), antara lain:
Pertama, tidak diberlakukannya hukum Allah (syariat). Padahal manusia diciptakan untuk beribadah. Allah berfirman:
-{ ????? ???????? ???????? ??????????? ?????? ????????????? } (???? ???????? ? ????? : 56 )
Allah juga memerintahkan kita untuk menjalankan agama dan syariat-Nya. Allah berfirman:
-{ ????? ??????????? ????? ????????? ???? ????????? ????????????? ????? ????????? ????????? ????????? ??? ??????????? } (???? ???????? ????? : 18)
Dan dianatra bukti bahwa kita adalah orang yang beragama adalah tunduk dengan hukum Allah. Allah berfirman:
-: { ????? ????? ?????????? ????? ?????????? ????? ????? ??????? ??????????? ??????? ???? ??????? ?????? ??????????? ???? ?????????? ?????? ?????? ??????? ??????????? ?????? ????? ???????? ???????? } (???? ???????? ?????: 36 )
Karena itulah jika kita semua menjalankan syariat Islam (bukan harus mendirikan Negara agama seperti yang dituntut oleh sebagian golongan) dengan baik dan benar, niscaya damailah dunia dan Negara, sepi dari radikalisme, fantisme dan lain sebagainya.
Kedua, rusaknya akidah. Islam sebagai agama dan akidah hakikatnya satu (Addin Al Islam) yang dibawa oleh Muhammad SAW yang disebutnya sebagai ”Al Mahajjah Al Baido” (jalan yang lurus dan terang) dan rusaklah orang-orang yang menyimpang darinya. Rusaknya akidah ini dapat kita lihat dan kita temukan sejak awal Islam dengan banyaknya kelompok dan aliran islam yang saling bertentangan.
Ketiga, deharmonisasi ”hakim” dan ”mahkum” (penguasa dan rakyat). Harmonisasi hubungan manusia baik dalam masalah dunia dan akhirat setelah berpegang teguh (hukum) Allah sangat tergantung kepada adanya pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana yang mengatur persoalan masyarakat. Dan adanya konsep taat kepada imam adalah bagian daripada kesempurnaan islam. Allah berfirman:
??? ???????? ????????? ???????? ????????? ??????? ??????????? ?????????? ???????? ????????? ???????? (???? ??????:59
Dan rasulullah bersabda:
– ????? ???????? ?????? ??????? ??? ??????? ?? ?????? ??? ?? ??????? ???? ??? ???? ?????? ????? ?????? ??????? – ???? : ?? ???? ??????? ??? ??? ??? ??? ???? ??????? ?? ???? ). ?????? ?? ???? ???? ? ????? ?? ??? ????? ????? ?????? ???? ??????? ???? ?. ???? : ( ?????? ??????? ????? ????? ?? ????? ?????? ?? ????? : ( ??? ??? ????? ?????? ) ? ???? ?????? ??? ???? ???? ???? : ” ????? ??????? ??? ????? ?????? ???? ??? ???? ?? ?? ???? ?????? ???? ??? ?????? ??? ??? ??? ???? » ( ??? ?????? ???? ??????? ????????? ? 11 ? 240 )
Keempat, minimnya peran ulama. Ulama sebagai pewaris nabi dalam mengatur dan menjaga kehidupan dan tatanan masyarakat memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam menentukan masa depan ummat. Jika ulama tidak lagi berperan sebagai tauladan, pemimpin yang melindungi dan guru masyarakat, maka akan mendorong munculnya orang-orang atas nama agama atau ”kiai kalender” (orang yang ilmunya pas-pasan) sehingga banyak melakukan kesalahan dalam berfatwa (seperti sekarang yang terjadi). Dan masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi pemicu lahirnya gerakan radikalisme beragama.
Penutup
Dari uraian singkat diatas dapat kami simpulkan:
Pentingnya penyegaran dan peningkatan peran pendidikan agama sebagai kekuatan islam yang ”rahmatan lil alamin” dan jauh dari fanatisme beragama serta toleran, humanis, dan kontekstual.
Perlunya membangun kekuatan, kebersamaan, pemahaman yang saling menghargai dan bekerjasama dalam beragama. Pentingnya sinergi antara pemerintah dan ulama dalam peningkatan ekonomi rakyat dan hal ini bisa dengan ikut mensukseskan program wakaf uang yang dicanangkan presiden pada 8 Januari 2010. Sinergi antara pengasuh pondok pesantren, kiai, dan ustad dalam mengembangkan pendidikan Islam yang pluralis, inklusif, dan proposional. Memaksimalkan peran dan posisi ulama dan umara sebagai dua kekuatan masyarakat yang harus bersinergi. Ulama dan kiai harus ikhlas mengabdi dengan mengembalikan dirinya ke pesantren, yayasan, dan masjid untuk melayani masyarakat, dan menjauhkan diri dari politik.
**) Disampaikan pada acara ”Silaturahmi Ulama dan Kiai se-wilayah III Cirebon” di Yayasan Pondok Pesantren Asy-syafi’iyah, Kedungwungu, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat.