H. Abdul Rofi Afandi *
Dikalangan masyarakat Cirebon dan sekitarnya, sosok al-Maghfurlah KH. Mustahdi Hasbullah (wafat 2002) menjadi sala-satu ulama yang cukup diperhitungkan. Ketokohan beliau itu, tidak lepas dari peran dan kontribusinya sebagai pelayan umat sekaligus pengasuh pondok pesantren Tahsinul Akhlaq, sebuah pesantren tradisonal yang terletak di Desa Winong Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon Jawa Barat.
Bisa dikatakan, sosok abah Mustahdi—demikian santri dan masyarakat sekitar memanggil—menjadi tokoh pantuan, bukan hanya dalam persoalan keagamaan, tapi juga dalam persoalan lain yang selalu dinanti nasihatnya. Karena alasan itu, tidak mengherankan jika dipertengahan 1989, ketika penulis mulai nyantri pada beliau, ratusan santri datang dari berbagai daerah, bukan hanya dari sekitar Jawa Barat, juga daerah-daerah lain seperti Jaakarta, Sumatra, Kalimantan, dan lainnya.
Dalam pada itu, perkembangan pesantren Tahsinul Akhlaq—yang kemudian lebih dikenal dengan nama pesantren Winong, mengacu pada desa dimana pesantren ini berdomisili—tidak lepas dari nama besar abah Mustahdi. Bagi penulis, pesantren ini tidak hanya menyisahkan riak-riak sejarah, tapi telah memberikan kesan tersendiri. Lebih lagi, tepat di penguhujung tahun ini, pesantren Winong genap berusia seratus tahun (satu Abad). Itu artinya, pesantren ini telah melewati waktu yang tak sebentar, banyak tantangan dan dinamika yang dihadapi.
Sosok Teladan dan Rendah Hati
Dalam beberapa literatur, KH. Mustahdi Hasbullah diperkirakan lahir pada tahun 1921 di desa Winong, Cirebon dari pasangan KH. Hasbullah dan Nyai Hj. Khafsoh. Begitu menginjak dewasa, usai mendapatkan pendidikan dari sang ayah, abah Mustahdi memutuskan untuk belajar di beberapa pesantren, misalnnya di pondok pesantren Babakan beliau berguru pada kiai Sanusi, kiai Amin Sepuh, dan kiai M. Amin. Setelah itu, beliau melanjutkan di pesantren Tebuireng, Jombang dibawah pimpinan KH. Hasyim Asyari.
Sebagai santri kelana, sebenarnya tidak sedikit pesantren yang beliau singgahi, seperti di Kaliwungu beliau berguru pada KH. Asror Ridwan (PPTQ Al-Asror), di Kauman belajar pada KH. A. Rukyat dan KH. Ibadullah Ifran (pesantren Apik), dan di Kendal belajar pada kiai Abdul Hamid (pesantren Gubug Sari). Selain itu, beliau juga pernah tabarukan dibeberapa tempat, misalnya pondok pesantren Lirboyo (Kediri), Sukun Sari (Cirebon), dan Nahrul Ulum (Ponorogo).
Sebagai ulama yang sangat disegani, pengabdian abah Mustahdi pada santri dan masyarakat sangat tidak terbilang. Dikalangan santri, beliau dikenal sosok yang rendah hati dan telaten (perhatian). Demikian yang penulis saksikan, beliau tidak pernah membedakan antar santri, baik santri senior atau santri baru, semua di wulang (ajar) langsung oleh beliau. Hanya yang membedakan adalah materi yang diberikan, disesuaikan tingkatan dan kemampuan santri. Dan umumnya, santri bakal menerima materi pelajaran yang ditulis oleh beliau sendiri: ‘Aqa’id Seket (ilmu tauhid), Masalah Khilafiyyah, kitab Fikih, kitab santri-santri (nadzom akhlaq), dan masih banyak lagi.
Disamping itu, abah Mustahdi kerapkali memanggil para santri, sekalipun tidak banyak yang dibicarakan, sekedar menanyakan kabar dan progres belajar. Satu hal yang selalu diingat, selepas sholat Jum’at dan ziarah kubur, beliau menjamu para santri untuk bersantap bersama: “nasi kuning”. Dan sesekali beliau memanggil, “Ayoh cung, niki tarik, dahar riyin” . Ayo kang santri, ini ada nasi, makan dulu. Dengan siapapun, termasuk santri, beliau selalu berbahasa kromo, bahasa jawa sopan dan halus.
Pengabdian beliau kepada santri, juga beliau lakukan pada masyarakat (umat). Dalam struktural NU, misalnya hasil Konfercab NU ke-18 tahun 1986, mengukuhkan KH. Mustahdi Hasbullah sebagai mustasyar PCNU bersama KH. Abdullah Abas, KH. Abdul Malik, KH. Syaerozie, dan KH. Hasan. Sementara pada Konfercab NU Ke-19 tahun 1989, beliau kembali terpilih bersama KH. Umar Soleh, KH. Abdullah Abas, dan KH. Abdurrahman ibnu Ubaidillah.
Dikalangan santri dan masyarakat, abah Mustahdi—terlepas dari ketokohan dan kealimannya—dikenal sebagai kiai yang sederhana dan tawadlu. Semua tamu yang datang, dari kalangan manapun, bakal diterima dengan baik. Selain itu, beliau seringkali menghadiri acara-acara keagamaan di masyarakat, sekalipun menempuh jarak yang cukup jauh. Pernah suatu kali, beliau menghadiri pengajian, bukannya minta dijemput atau memakai mobil pribadi, tapi menggunakan angkutan umum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika beliau dikenal sosok kiai yang tawadlu, teladan, dan rendah hati.
Pada akhirnya, sekalipun sosok abah Mustahdi telah tiada, bukan berarti beliau telah benar-benar meinggalkan kita. Karena kontribusi pemikiran, pengabdian, dan nasihat-nasihat beliau akan selalu diingat. Wa’allahu A’lam.
Penulis adalah Alumni Pesantren Tahsinul Akhlaq Winong Cirebon, Wakil Ketua LD-PWNU Jawa Barat.