Di Maroko, negara Islam bermadzhab Maliki, di negara bagian Afrika Utara berkulit putih, saat malam hari Ramadan, jamuan makan terbagi menjadi empat ‘tahap.’ Ini menjadi tradisi di setiap keluarga.
Tidak hanya santapan berbuka dan sahur saja sebagaimana lazimnya di Indonesia. Namun, ada santapan makan malam yang dilaksanakan antara (selepas) berbuka puasa dan (sebelum)sahur. Unik.
Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke atas, tapi juga hampir berlaku bagi semua lapisan masyarakat Maroko dengan menu yang tidak jauh berbeda.
Tahap Pendahuluan: Membatalkan Puasa
Di Maroko hanya sebagian kecil saja masjid yang menyediakan futur(buka) kepada para jamaahnya. Tidak seperti marak terdapat di masjid-masjid negara bagian Teluk seperti Saudi, Qatar , Kuwait dan negara-negara gudang minyak lainnya itu.
Sebagai ‘pendahuluan’ di rumah masing-masing, ketika adzan Maghrib berkumadang, Muslimin Maroko buru-buru menelan beberapa butir kurma dan menengguk air putih secukupnya, hanya sekedar untuk membatalkan puasa.
Kemudian mereka pun bergegas ke Masjid untuk menjalankan ibadah salat maghrib secara berjamaah.
Bahkan banyak pula yang beberapa menit menjelang adzan Maghrib mereka sudah berada di Masjid untuk menunggu Maghrib tiba, dan membawa ‘bekal’ beberapa butir kurma dan sebotol air putih.
Tahap Kedua: Makan Yang Dianggap Berbuka Puasa
Selepas shalat Magrib itu, mereka buru-buru bergegas kembali ke rumah untuk menikmati hidangan khas Maroko. Selain kurma, dalam ‘tahap kedua’ ini, menu wajibnya bagi orang Maroko adalah terdiri dari :Subaikiyahc(manisan khas Maroko yang terbuat dari tepung dengan campuran gula), atau juga manisan sejenis, yang menurut lidah orang Indonesia sangat kuat manisnya.
Roti kering makanan pokok Maroko pun turut dihidangkan dalam tahap kedua ini, berikut mentega atau madu atau sejenisnya sebagai pasangannya.
Termasuk malwe, makanan khas Maroko yang terbuat dari terigu bentuknya agak sedikit mirip dengan martabak (di Indonesia). dilengkapi pula dengan beberapa butir telur rebus sesuai porsi masing-masing.
Sedangkan menu wajib adalah khariroh (sop khas Maroko) yang terbuat dari kacang khumus, bawang, tomat, telur, dan aneka rempah-rempah, kadang juga dicampur sedikit daging — disesuaikan selera–, dan lain-lain.
Bisa dipastikan, tidak ada orang Maroko dalam berbuka puasa yang melewatkan sop bernama khariroh ini.
Bahkan saking dibanggakannya khariroh ini oleh orang-orang Maroko, sehingga dianggap sebagai menu istimewa dan khas di hotel-hotel dan restoran mewah sekali pun. Termasuk banyak dijual di warung-warung khariroh dalam kemasan instant, mudah saji.
Tak ketinggalan teh yang dicampur daun na’na, dan juice buah, juga khalib (susu) dan kadang kopi susu (sesuai selera).
“Menu tersebut, bagi porsi perut orang Indonesia, adalah sudah melebihi kapasitas,” demikian ungkap Vika Rifqoh Khasanah mahasiswi studi Islam asal Jawa Tengah yang sering diundang berbuka puasa ke rumah teman-teman seangkatan kuliahnya di Univertias Qodi Iyadh Maroko itu.
Nah, di tahap jamuan kedua ini, orang Maroko barulah menyebutnya dengan: “Berbuka puasa”. Ini sesuai dengan pengakuan Ustadz Abdul Aziz, imam masjid terletak tidak jauh dari asrama kampus universitas Qodi Iyadh, Marrakesh.
Cukupkah ‘menu jamuan’ tahap kedua tersebut di atas? Tentu saja belum. Masih ada ‘segudang’ menu lainnya.
Tahap Ketiga: Makan Malam Ramadan
Tarawih di Maroko dijadikan dua putaran, 10 rakaat habis jamaah salat isya, dan tarawih putaran kedua satu jam, menjelang adzan Subuh . Tarawih putaran pertama selesai pada pukul 21.30
Satu jam selepas tarawih putaran pertama itu, antara pukul 22.00 -23.30, mereka kembali ke meja makan yang umumnya bersama keluarga masing-masing di rumah. Dan memang tradisi orang Maroko – di luar Ramadan pun – adalah makan selalu bareng bersama keluarga.
Orang Maroko pun tak kenal istilah ‘Buka puasa bersama,’ entah di kantor-kantor atau di instansi tertentu dengan rekan kerja seperti marak di Indonesia itu.
“Sedikit sekali orang Maroko yang makan di luar rumah saat berbuka puasa,” demikian kata Abdel Elah, pemilik restoran di jantung kota Gueliz, propinsi Marrakes, Maroko. Otomatis banyak restoran yang omsetnya menurun di bulan Ramadan ini.
Di tahap ketiga ini, mereka menamainya dengan ‘makan malam’, tentu saja dengan menu yang berat-berat sebagaimana layaknya hidangan makan malam atau makan siang di luar bulan Ramadan.
Salad dari aneka sayur-mayur, adalah menu yang dijadikan sebagai pembuka tahap makan malam ini.
Menu khas dalam makan malan ini adalah Tajin, ada yang terdiri dari daging sapi atau ayam, bahkan ada pula yang daging unta bagi orang-orang tertentu, sebagai pasangan dari roti kering makanan pokok Maroko. Yang unik adalah, Tajin ini dimasak dan dihidangkan pada alat khusus yang terbuat dari tanah dan tutupnya mengkrucut.
Bahkan di antara tradisi makan orang Maroko adalah, dari menu yang tersedia di dapur, tidak serta-merta dikeluarkan bersamaan, tapi secara bertahap. Biasanya berdasarkan jumlah taplak meja makan yang dipakai. Jika taplak meja itu berlapis empat misalnya, dapat dipastikan empat macam menu yang tersedia dan akan dihidangkan.
Semisal pertama yang dikeluarkan adalah masakan ayam, setelah itu baru mengeluarkan daging sapi dan seterusnya. Karena setelah melahap satu jenis menu, maka sisanya akan diambil kembali masuk ke dalam (dapur) bersamaan dengan taplak meja yang letaknya paling atas, dan diletakkan menu makan selajutnya.
Begitu seterusnya sampai taplak meja itu tinggal satu, maka tinggal buah-buahan (dan) yang diletakkan sebagai penutup jamuan itu.
Untuk mengetahui jumlah taplak meja yang dipasang pada sebuah meja makan orang Maroko, selain warna yang berbeda-beda, juga biasanya ukuran taplak yang terletak paling atas adalah agak kecil dibanding dengan taplak yang di bawahnya, begitu seterusnya. Jadi yang paling bawah paling lebar, sehingga kelihatanlah berapa jumlah taplak yang dipasang di meja makan tersebut.
Juga masing-masing taplak dipasang secara bersilang. Sehingga setiap sudut taplak kelihatan. Jadi jelas jumlah taplak yang dipasang pada meja makan di depannya.
Cara menghidangkan semacam ini, hampir berlaku bagi semua keluarga Maroko, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadan. Utamanya sangat diberlakukan pada acara undangan makan pada acara tertentu seperti pesta pernikahan dan sejenisnya.
Apalagi di bulan Ramadan ini, tak jauh beda dengan di Indonesia , orang-orang mengutamakan menu makanan istimewa. Sehingga di Maroko pun harga sembako naik saat-saat bulan Ramadan.
Di sisi lain, dalam kebiasaan sehari-hari bagi orang Maroko, daging sapi, ayam, dan susu adalah bukan lagi dianggap makanan mewah, bagi keluarga kelas menengah ke bawah sekalipun.
Adapun penutup “tahap” ketiga ini, adalah minum teh yang disajikan dengan cara khas Maroko, yang tak ketinggalan dicampur daun na’na dengan rasa menthol itu. Karena mayoritas orang Maroko termasuk pecandu berat minum teh, tak terkecuali komunitas ibu-ibu sekalipun.
Sedangkan kus kus, makanan khas Maroko yang terdiri dari gandum dan sayur mayor, daging kambing atau daging sapi atau ayam itu, adalah menu (tradisional) wajib bagi setiap keluarga pada setiap hari Jumat di luar Ramadan.
Tahap Keempat: Sahur Ala Orang Maroko
Sahur, bagi orang Maroko, dianggap kurang begitu penting. Kita pun bisa membayangkan, mulai selepas salat Magrib, aneka makanan dilahapnya. Tentu saja membuat perut masih kian kenyang.
Karenanya, bagi orang Maroko, sahur umumnya mereka lakukan pada pukul 3.00, sebelum mereka bergegas ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih putaran kedua sebagaimana dikatakan di atas tadi.
Sahur bagi mereka sekadar untuk melaksanakan ibadah sunnah (sahur). Cukup dengan meminum beberapa gelas susu, air putih, dan makanan ringan dari kue-kue kering khas Ramadan Maroko – yang biasanya hanya banyak dijual saat bulan Ramadhan saja-.
Bahkan banyak sekali orang Maroko yang sering melewatkan makan sahur begitu saja karena masih kekenyangan.
Nasrulloh Afandi
Awal publikasi di:
http://ramadan.detik.com/read/2009/09/07/055147/1197898/631/tradisi-buka-puasa-orang-maroko
http://rol.republika.co.id/koran/31/74837/Empat_Kali_Makan_Malam