Mengembalikan Masjid Sebagai Forum Ilmiah

A. Muntaha Afandie

Entah sejak kapan manusia mulai menyadari pentingnya pendidikan? Sejak berabad-abad lalu pendidikan mulai dibicarakan dan diperhatikan. Berabad-abad lamanya pula lembaga pendidikan didirikan dan diruntuhkan. Yang terakhir terjadi karena [utamanya] kekhawatiran yang berlebihan pemegang status quo terhadap kaum terpelajar. Bahkan guru dihabisi seperti dialami oleh Socrates yang melepas nyawa di ujung bibir mangkuk negara. Di abad kegelapan, Eropa justru mengorbankan seorang ilmuwan terbaiknya, Galilea Galilleo, karena dianggap menyebarkan paham yang mengganggu keimanan.

Tapi orang-orang Islam wajib bersyukur. Islam mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Bagi pembaca Tafsir Al Qurthubi, Juz X/ hal. 431 akan menemukan sabda nabi dengan nada metaforis, ”… sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan ahli ibadah (tapi tak berilmu, pen), bagaikan rembulan di malam purnama (yang cahayanya mengalahkan) bintang-bintang.” Abu Said al Khudri, meriwayatkan sabda nabi dengan nada yang lebih jelas, ”Perbandingan keutamaan orang alim (orang yang berilmu) dengan ahli ibadah seperti keutamanku dengan umatku.”

Alquran melarang kaum muslim pergi ke medan perang, seluruhnya. Jihad, dalam Islam, hukumnya fardu kifayah (kewajiban yang dapat direpresentasikan oleh sebagian orang). Begitu juga dengan thalabul ilmi. Maka, demikian diterangkan Alquran, umat Islam harus bagi ”tugas”; segaian berangkat jihad, sebagian lain menuntut ilmu agar setelah mujahid kembali dari medan perang, kaum terpelajar ini memberikan pencerahan pada mujahidin.

Ayat itu berbunyi, ”Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman semuanya pergi (ke medan perang). Seharusnya dari setiap kelompok, ada beberapa orang yang pergi belajar/ memperdalam wawasan keagamaan dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka, supaya mereka itu dapat menjaga diri” (QS 9: 122).

Ibnu Arusy memiliki uraian yang cerdas. Karena pertahanan/ kontinuitas suatu negara, begitu pendapat Ibnu Asyur dalam Tafsir Tahrir wat Tanwir Juz 11. Hal 59, tergantung pada—jika mengunakan term dalam konteks bangsa-negara dewasa ini– kritikus (ahl ra’y) yang memberikan check and balance, ilmuwan, dan politikus. Dengan kata lain, ketahanan negara tak cuma tergantung pada kekuatan militer tapi ilmuwan-cendikianwan. Oleh karena itu, pemerintah harus concern terhadap pendidikan. Ini bisa dibuktikkan, lanjut Ibnu Asyur, Negara Andalusia (sekarang, Spanyol) dan bangsa Tartar bisa eksis karena negara mengapresiasi para ilmuwan.

Secara kasat mata, yang tersurat dari firman di atas adalah keniscayaan bahwa per kelompok (Arab: firqah) untuk memiliki pembimbing spiritual. Bila tidak ada, maka wajib mengirim beberapa orang (th?’ifah) ke tempat lain untuk memperdalam agama (tafaqquh fi ad din) meskipun harus menyeberangi lautan/ samudera. Thalabul ilmi yang di maksud Quran bukan terbatas pada ilmu agama tapi juga ilmu pengetahuan, dlsb. Sebagaimana ditegaskan nabi: ”uthlubuu al-‘ilma walau bi ash-shiin, tuntutlah ilmu meskipun harus sampai ke Cina.” Tidak logis, bila nabi memerintahkan sahabatnya untuk memperdalam agama ke negeri Cina. Hal ini juga dicontohkan secara langsung oleh nabi dengan memerintahkan anak angkatnya, Zaid Ibn Haritsah, untuk mempelajari bahasa Yahudi saat itu. Agar tak mis-komunikasi dalam hubungan bilateral, tentu.

Secara tersirat dari yang tersurat pada ayat di atas, Islam sudah membangun konsep pendidikan yang ideal. Bahwa setiap firqah harus memiliki—jika pakai terjemahan yang sesuai dengan konteks sekarang—beberapa guru. Ini sesuai dengan pendidikan modern bahwa idealnya per 25–30 murid memiliki satu guru.

Karena itu, sebelum di Prancis ada Sorbone, di Inggris berdiri kampus Oxford, dan di Amerika berdiri universitas-universitas bergengsi, pendidikan di dunia Islam sudah mapan dan maju pesat, misalnya, di Maroko berdiri Universitas Qurowiyyin, perguruan tinggi pertama di dunia dan yang up to date untuk ukuran zaman itu, kemudian disusul Universitas Al Azhar di Negeri Kan’an.

Dan karena concern Islam terhadap ilmu pengetahuan yang tinggi, maka lahirlah ilmuwan seperti Al Kindi, Al Khuwairizmi, Ibnu Sina. Pun filosof yang sampai dewasa ini karyanya, di Eropa, masih dikaji, misalnya, sebut saja Ibn Rusd. Sedangkan Barat, saat itu, masih berselimut tahayyul, khurofat, dan mitos.

Apakah saya sedang terpesona dengan romantisme kejayaan peradaban masa silam? Saya rasa tidak. Saya justru sedang ”menggugat” generasi muda Indonesia, khususnya, yang hanya puas dengan satu bidang yang ”dikuasai.” Kaum sarungan puas dengan kitab kuningnya, dan insan akademik hanya bangga dengan teori-istilah yang membingungkan. Ironisnya lagi, kaum sarungan kurang ngeh (respek) terhadap ilmu pengetahuan, dan ilmuwan menjauh dari rumah Tuhan (baca: masjid, lembaga pendidikan agama).

Hemat saya, bukan saatnya lagi bagi generasi muda muslim untuk mengelu-elukan kejayaan masa lampau. Yang kita butuhkan saat ini, bagaimana umat Islam meraih kembali kejayaan itu. Tindakan nyata. Semua itu tak akan tercapai jika tak memulai dari sekarang, dari yang terkecil.

***

Pascaruntuhnya kejayaan-peradaban Islam di Timur Tengah, banyak kalangan yang meramalkan bahwa kejayaan Islam akan muncul dari kawasan Asia Tenggara. Bagaimana dengan Indonesia?

Banyak yang pesimis bahya kejayaan itu akan muncul di negeri seribu satu pulau. Pendidikan di Indonesia merosot derastis. Bahkan ketinggal jauh dari negeri jiran yang di era 70-an banyak meng-import tenaga pengajar dari Indondesia.

Bagi saya, di tengah kemerosotan mutu pendidikan dan minimnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan tak jadi batu sandungan yang menghalangi untuk terus belajar. Masyarakat bisa mendirikan ”lembaga” penddikan alternatif. Kembali pada ”pertikaian” antar kubu santri dan mahasiswa, bila mereka mau take dan give wawasan, hemat saya, tentu sangat bagus sekali. Sehingga, kalangan ilmuwan memiliki wawasan keagamaan dan kaum santri tak asing dengan dunia akademisi. Maka, terciptalah ilmuwan yang tak kering wawasan agama dan agamawan yang memiliki wawasan ilmiah sebagai pondasi yang menopang negara dari kerapuhan—sebagaimana kata Ibnu Asyur.

Semua itu, bisa wujudkan tanpa perlu ada lembaga legal-formal tapi kegiatan ilmiah itu dapat diwujudkan dalam suasana non-formal di masjid. Bukankah sebelum jadi universistas, Al Azhar hanya sebuah diskusi ilmiah di masjid. Sudah saatnya mengembalikan masjid tak hanya sebagai tempat ritual lima kali saban hari tapi sebagai forum ilmiah seperti yang pernah marak tempo dulu.[]

*) Mahasiswa International Islamic Call College, Tripoli, Libya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!