Di hadapan para guru besar Universitas Al Azhar, Mesir, pada 21 Januari 1958, dengan kopiah hitam di kepala dan sorban putih melingkar di bahu, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), menyatakan bahwa salah satu penyebab penjajah mencengkeramkan kukunya di nusantara adalah kaum ajaran tasawuf yang jumud dan ’pasrah’: ”Diwaktu itu ajaran tasawuf yang salah, yang membawa jumud dan menyerah diri, yang mengajarkan ’Mûtû qabla an tamûtu, matilah sebelum mati,’ telah berpengaruh di mana-mana.”
Mungkin Hamka lupa atau tak pernah membaca kisah heroik kaum santri-sufi yang gagah berani mengusir penjajah, tak takut mati.
Dalam pidato ilmiah sebelum menerima anugerah doctor honoris causa dari Universitas Al Azhar itu, Hamka sama sekali tak menyebutkan peran/perjuangan kaum santri melawan penjajah. Ironisnya, ia malah mengisahkan kaum tariqat (sufi) Minangkabau yang dibantai oleh Imam Bonjol dan di Jawa oleh Diponegoro. Alasannya: memberantas khurafat (?).
Selain menuduh kaum sufi sebagai penyebab kemunduran dan jatuhnya nusantara ke cengkraman penjajah, Hamka juga, di hadapan civitas akademika Al Azhar,mencitrakan kaum sufi sebagai golongan yang terperosok kedalam lembah tahayyul, kekufuran, oleh karenanya harus dienyahkah! Secara tak langsung ia ”menghalalkan” Diponegoro dan Imam Bonjol.
Mungkin Hamka lupa atau tak pernah membaca kisah heroik kaum santri-sufi yang gagah berani mengusir penjajah, tak takut mati.
Gudang sejarah menyimpan fakta: pada abad ke-17 M, tepatnya tahun 1601, kerajaan Hindia Belanda menginjakkan kaki untuk pertama kali ke Nusantara; dengan kamar dagangnya, VOC. Mulanya untuk berdagang. Tetapi melihat kekayaan/ rempah-rempah yang melimpah meraka akhirnya menjajah. Persis kata Bang Napi: kejahatan bukan karena direncanakan tapi ada kesempatan. Semenjak itu, hampir seluruh wilayah nusantara dijajah oleh Hindia Belanda. Lampu hijau bagi mulusnya kapal-kapal Belanda bertepi di pantai-pantai Indonesia karena saat itu kerajaan-kerajaan Islam di nusantara belum sempat membentuk aliansi—MoU kerja sama dalam bidang pertahanan.
Penjajah memang sudah mengakar di tanah nusantara (baca: Indonesia) tapi rakyat tak bisa lepas tangan atau menyerahkan pengusiran penjajah sepenuhnya pada pemerintah/ kerajaan. Hal ini disadari betul oleh kaum santri.
Maka, pesantren jadi markas perjuangan: santri-santri sebagai prajurit dan kiai jadi panglima perangnya. Bahkan salah satu laskar jihad yang terkenal dan punya andil besar bagi perjuangan kemerdekaan dipimpin oleh K.H. Wahab Chasbullah, seorang kiai pesantren. Ironisnya, kaum sufi (yang berbasis di pesantren) justru diklaim sebagai penyebab mengakarnya penjajahan. Saya yakin, ketika berbicara di depan para guru besar Al Azhar Hamka tak sedang melucu.
Bila kita menelusuri koridor sejarah,maka akan menemukan sejumlah fakta heroik kaum sufi, baik sebagai pejuang yang turun ke medan perang atau sebatas oposisi agar ada cek and balance pada kebijakan penguasa.
Contoh kaum sufi yang turun ke medan perang dan oposisi sekaligus adalah tarekat sanusiyyah di Libya[1]. Sedang kaum sufi jadi kekuatan oposisi sudah dimulai sejak Muawiyyah menobatkan diri jadi ”khalifah,” setelah (percobaan) menggulingkan Ali Ibn Abi Thalib. Sejak rezim Damascus berkuasa, perpecahan di tubuh Islam makin menganga luas. Diantara kekuatan yang selalu membayangi Muawiyah adalah Khawarij dan Syiah, dua sekte yang sejak awal tak mendukung pemerintahannya.
Selain kedua sekte itu, Hasan Al Basri, tokoh sufi dari Basrah, pun jadi oposisi Muawiyyah. Ia pernah menulis surat kepada khalifah yang dikecam sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas perubahan (mengganti) khalifah dari sistem musyawarah ke warisan berdasarkan darah/ keturunan, menuntut agar rakyat diberi kebebasan untuk melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga ada tempat bagi tanggung jawab moral. Dalam suratnya, Hasan Al Basri bernada menggugat praktik-praktik zalim Orde Umawiyah yang menganut faham fatalisme (jabariyah). Tapi karena pengeruhnya yang luas, Al Basri tak lenyapkan dari pentas politik.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian Indonesia, sudah saatnya tasawuf kembali jadi gerakan oposisi yang memberikan cek and balance bagi pemerintah yang cuma berorientasi kursi. Seperti yang sudah dicontohkan Hasan Al Basri terhadap rezim Damascus dan Ali Al Sanusi (pendiri dan pemimpin tarekat tsanusiyah) sebagai oposisi rezim Turki Utsmani dan jadi singa padang sahara yang mengebiri penjajah Italia.
[1] lihat artikel saya: Tarekat Sanusiyyah di Libya: Politik Islam dan Esoterisme Islam, El Waha Edisi II/ tahun VII/ Agustus 2008.