Mengugat Balik Aktivis “Islam Moderat” Yang Pemarah

islam moderatNasrulloh Afandi

 

Skandal oknum aktivis salah satu organisasi masyarakat(Ormas) Islam, menyiramkan air teh kepada lawan diskusinya, dalam siaran salah satu televisi swasata(28/06/’13) Kembali menimbulkan reaksi dari orang-orang yang biasa mengklaim dirinya komunitas: “Islam Moderat”, “Islam Rahmatan Lil A’lamin”, “Pluralisme beragama”, dan berbagai embel-embel “gelar“ lainnya sesuai klaim keinginan komunitasnya masing-masing.

 

Merespon insiden semacam itu, sudah semestinya Si pelaku diberi “Kasih Sayang”, bukan diberi “Kemarahan”. Dia adalah orang Islam namun perilakunya masih belum Islami. Inilah diantara sikap lapang dada, teladan yang harus diterapkan, dan dominan untuk membedakan antara komunitas Islam moderat plus Rahmatan Lil alamin(Rahmat bagi semua) Dengan komunitas yang kerap disebut “Islam kaku” atau “Islam keras”.

 

Adalah fenomena jauh dari kode etik dan kafabilitas aktivis atau tokoh Islam Moderat, bila bereaksi “marah” dalam merespon tragedi dengan latar belakang semacam tersebut. Padahal publik Muslim “akar rumput” pun paham bahwa oknum Si pelaku latar belakang pendidikannya jauh dari institusi Islam, dominan bermodal “nekat”, juga dengan latar belakang dari Ormas Islam yang kerap melakukan “Kekerasan pisik” atas nama agama. Jadi sangat wajar kalau Ia masih sangat butuh untuk diberi “Kasih sayang” dan “Perhatian”, upaya menuju kebaikan dalam beragama. Bukan diberi kebalikannya, bukan?

 

Perlukah Mereka Disayangi?

Perspektif norma sosial, apalagi agama, sikap melakukan tindakan “kekerasan fisik” jelas bertentangan, dan sangat tidak patut, apalagi dipertontonkan di depan publik, dan dilakukan oleh seseorang yang kerap mengklaim dirinya adalah bagian dari elite salah satu Ormas Islam tertentu. Dan posisi faktor “elite” ormas inilah sebenarnya yang mengundang reaksi publik.

 

Bagi orang-orang yang kerap mengklaim dirinya sebagai “Para pelaku dakwah”, “Aktivis atau tokoh agama” –Dengan berbagai embel-embel nama komunitasnya–, “Tokoh Pluralisme Beragama” atau “Tokoh Islam Moderat”, jelas kurang pas pula bila bereaksi keras dalam merespon insiden semacam ini.

 

Bukankah api harus dipadamkan dengan air? Bukan disiram dengan minyak tanah, apalagi bensin? Ormas aliran keras tidak akan lunak jika disikapi dengan sikap “keras” pula. Bahkan bisa jadi akan semakin bertambah keras, karena langkah-langkah ormas Islam garis keras secara spontan sering disandrakan pada pragmatisme “Kepuasan sesaat” diukur dengan kadar “Kekuatan otot” Si oknum, kurang mengoptimalkan intelektualitas, jarang mempertimbangkan kemanfaatan umat dan masadepan Islam, meskipun selalu mengatasnamakan Islam, dan menyeret-nyeret simbol-simbol Islam. Jadi perlu “Disayangi”, bukan?

 

Sikap menyanyangi, lembut dan bijaksana, akan lebih menunjang untuk bisa, merangkul melunakkan dan bahkan menaklukkan mereka. Thomas W Arnold, seorang oreintalispun dalam bukunya “The Preaching Of Islam” Ia Menyimpulkan: Kunci kesuksesan dakwah Nabi Muhammad SAW, di tengah-tengah keras dan kasarnya sikap kaum kafir kala itu, adalah teladan akhlak mulia, bijaksana, lemah lembut, dalam berdakwah.

 

Uswatun hasanah atau suri tauladan inilah yang kini marak diserukan oleh banyak orang pelaku di medan dakwah, namun sedikit sekali yang memperhatikan, apalagi mengamalkannya.

 

Bukankah Muhammad bin Abdullah dalam posisinya makhluk yang paling mulia, Ia Nabi plus Rasul SAW itu – Ketika diriNya sendiri– Dalam berdakwah dilempari kotoran onta , batu , dan di hunjami caci–maki, cemooh, beliau tidak marah? Bahkan justeru Beliau mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang menyakitinya dan menghalang-halangi dakwahnya itu?

 

Kenapa umatNya marah hanya karena melihat ada orang menyiram air teh atau sejenisnya, padahal yang disiramnya orang lain (Pun hanya manusia biasa seperti kita) Bukan pula tokoh agama? Dan (Terpujinya) Si Korban Juga sudah “tidak” mempermasalahkannya?

 

Jadi sebenarnya orang-orang yang memencuatkan reaksi terhadap insiden semacam ini, adakah dalam konteks dakwah?

 

Ataukah hanya “Memancing di Air Keruh”, Memanfaatkan kesempatan dengan target –target kepentingan sempit tertentu?

 

Butuh Solusi, Bukan Sensasi

 

Skandal dengan membawa bendera ormas Islam, yang sering berakibat menjadi penyulut konflik dalam beragama.memang buka awal kali terjadi, harus dihentikan. Cukup sampai disini.

 

Sayangnya, jika diamati lebih jauh, reaksi dari kalangan aktivis atau ormas Islam lain yang katanya moderat itu. Sering terjadi reaksinya berlandaskan bukanlah konteks mencari solusi, tetapi lebih dominan “memanfaatkan kesempatan’’ untuk memojokkan golongan lain, atau bahkan ‘’balas dendam” kepada komunitas yang dianggap kurang sejalan, juga tak jarang yang hanya sebatas untuk “menonjolkan” golongannya masing-masing. Sayang sungguh sayang.

 

Fenomena semacam inilah yang juga perlu segera direorientasi, jika tidak, maka tidak mustahil –seperti tragedi sebelum-sebelumnya,– Muaranya hanya sering menyebabkan insiden(Semacam itu) kian membesar atau bahkan sering merembet ke wilayah konflik lainnya dalam ranah beragama, sangat jauh dari kontribusi solusi dalam meresfon percikan insiden atau konflik yang mengatasnamakan agama.

 

Benarkah Mereka Muslim Moderat?

 

Identiknya ranah aktivis Islam atau Ormas Islam moderat. Harus mampu mengayomi, merangkul, dan memberi solusi saat terjadi percikan konflik atau insiden se kecil apa pun yang secara implisit mengatasnamakan bendera agama(Islam atau agama lainnya)

 

Ya, jika para aktivis intelektual Islam moderat papan atas — atau yang masih sebatas mengklaim dirinya sebagai intelektual Islam moderat— selalu bereaksi dengan “kekerasan” statement, dan “kemarahan”, lantas apa bedanya dengan mereka yang bukan intelektual Islam Moderat, yang kerap dituduh dan divonis aliran keras?

 

Jelas menabrak rambu-rambu Islam moderat, bila lebih menampakkan kemarahan, setiap kali terjadi insiden kurang Islami dari oknum ormas Islam tertentu. Apalagi jelas-jelas ormas tersebut yang telah dikenal oleh publik Muslim “akar rumput” sekalipun, sebagai Ormas Islam yang kurang bijaksana, keras, atau kadang anarkhis. Sekali lagi, alhasil Ormas Islam semacam itu butuh “Kasih sayang” Ekstra, bukan malah diserang balik dengan “Kekerasan” ekstra.

 

Dalam konteks dakwah, semua komunitas bukankah harus estafet membumikan unsur-unsur dakwah sesuai instruksi Al-Quran, yaitu “Bil Hikmati Wal Mauidhoti al-Hasanah” Dakwah dengan bijaksana dan Nasehat yang baik, sesuai metode dakwah yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW?

 

Kalau mengaku jadi Muslim moderat, lho kenapa marah?

 
(Oedin)

 

*Nasrulloh Afandi, Ustadz Desa, Guru Ngaji

 

Sumber: Rimanews(dot)com

 
(03/07/2013)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!