Oleh: Dewan Pengurus asy-Syafiiyah.
Apapun alasannya. Sungguh menarik, fenomena baru di kalangan akademisi saat ini, yang biasa “lantang” mengklaim diri komunitas perubahan atau pembaharuan, namun tiba-tiba mereka “mengangkat” pesantren yang selama ini oleh sebagian orang(praktisi akademisi) dianggap ketinggalan zaman dan beku, ditariknya masuk ke dalam tatanan akademisi.
Dengan terus maraknya pesantren mahasiswa ini, dapat disimpulkan, ada dua bentuk pesantren mahasiswa. Pertama, “menawarkan” kepada para mahasiswa untuk jadi santri, atau para santri yang berdomisili di pesantren untuk jadi mahasiswa. Sehingga pesantren mahasiswa berfungsi sebagai wahana kajian dan pengembangan imliah. Kedua, “menekan” para mahasiswa untuk jadi santri, sehingga lebih menitik beratkan pesantren mahasiswa tersebut berfungsi sebagai benteng moral.
Substansi Pesantren
Hal pertama yang perlu dikaji adalah, harus membedakan definisi pondok pesantren. Baik antara pesantren dengan majlis Ta’lim atau masjid yang di dalamnya sering diadakan pengajian, atau SLTP/SLTA Islam, dan Perguruan Tinggi Islam yang pelajaran agamanya lebih banyak dari sekolah dan universitas yang lebelnya bukan Islam.
Termasuk UNISBA (Universitas Islam Bandung), sejak tahun 1987 membuka program studi yang dinamakan “Program Pesantren”, yaitu pada awal kuliah, akhir semester dua dan menjelang sarjana, serta perbedaan pesantren dengan berbagai sekolah atau universitas tidak “berlabel Islam” yang jelas pelajaran agamanya kurang.
Nah, dari sini bisa diambil kepahaman, apakan setiap pengajian atau pendidikan agama Islam itu, adalah pesantren? Dengan melihat pada definisi pesantren yang telah dibahas tadi, jawaban untuk pertanyaan itu, tentu adalah tidak.
Sama halnya dengan adanya pengajian di berbagai Majlis Ta’lim, Masjid, atau mata pelajaran agama di berbagai sekolah Islam, mulai SD(Sekolah Dasar) sampai Perguruan Tinggi. Sebab, untuk kegiatan pendidikan agama yang biasa disebut dengan nama “Pesantren Kilat”, maupun “Pesantren Kampus” universitas itu. Pengambilan nama tersebut, hanya sebagai pengkiasan terhadap pesantren. Karena selama ini pendidikan ilmu agama Islam identik dengan kondisi pesantren. Maka kegiatan-kegiatan pendidikan agama tersebut diberi nama “pesantren”, ada pesantren kilat, juga ada pesantren kampus bahkan sampai pesantren eksekutif, sebagaiman banyak terdapat di Jakarta setiap bulan suci Ramadhan, dengan para tutor kenama’an.
Kritik Sosial
Sekarang ini, di tengah-tengah santernya persaingan global, dimana sudah tidak ada bedanya antara Ijazah sarjana (universitas negeri apalagi swasta) dengan Ijazah pesantren swasta, sebab dua bentuk ijazah itu, tidak menjamin kesuksesan atau masa depan cerah pemiiknya.
Namun realitas zaman, dimana para orang tua banyak yang malas hanya sekedar ingin tau apa itu pesantren, apalagi memasukkan anaknya untuk belajar di pesantren, bahkan banyak terdapat para orang tua yang merasa malu bila anaknya hanay sekedar “bersahabat” dengan santri pesantren. Dan dengan bangga merestui putra-putrinya siang malam jauh dari sanak-keluarga berada di tempat kost, yang bukan rahasia lagi, tempat tersebut rawan dari serangan virus kerusakan akhlak atau pergaulan bebas dengan berbagai ragamnya.
Ironinya, banyak orang tua dengan legowo dan nafas lega merelakan anaknya berada di tempat tersebut, “demi untuk meraih gelar sarjana” meskipun tidak ada jaminan prosfek cerah di hari depannya.
Bahkan, semasa saya masik belajar di pesantren Lirboyo, Kediri dulu, telinga ini “terasa bising” atas berbagai kritik pedas bahkan komentar minor terhadap pesantren dari sahabat-sahabat yang berada di kampus-kampus universitas, baik yang berstatus mahasiswa maupun mahadosen termasuk para orang tua yang merasa bangga putra-putri mereka menempuh studi pada perguruan tinggi.
Namun di tengah-tengah memuncaknya fenomena demikian dalam tatanan masyarakat. Tetapi terus banyak bermunculan berbagai lembaga atau institusi yang menamakan diri “Pesantren Mahasiswa”. Bahkan di berbagai kota pelajar, ramai bermunculan tempat-tempat kost, merubah diri dengan menamakan diri “pesantren” mahasiswa-mahasiswi, cukup menggelikan fenomena demikian.
Peta Pesantren Mahasiswa
Dengan terus berkembangnya fenomena demikian ini, kita dapat membagi kepada dua bentuk pesantren mahasiswa:
Bentuk Pertama: Menawarkan Untuk Jadi Santri
Adalah pondok pesantren mahasiswa-mahasiswi yang fungsi utamanya sebagai media pengembangan ilmiah. Yakni sebuah lembaga yang dengan sengaja didirakan bertujuan untuk mengembangkan dan melestarikan kualitas ilmiah.
Diantaranya seperti pesantren al-Hikam di Malang, yang di bawah pimpinan KH. Hasyim Muzadi, pesantren mahasiswa semacam ini, sejak awal berdirinya, bukan “menekan” para mahasiswa untuk menjadi santri. Tetapi lembaga tersebut “menawarkan” kepada para mahasiswa atau sarjana, untuk menjadi santri. Sehingga hadirnya para calon sarjana, ataupun yang sudah jadi sarjana ke dalam tatanan lembaga tersebut, adalah berdasar kesadaran nurani ilmiah.
Serta yang menjadi santri pada pesantren tersebut, mayoritas para calon sarjana atau sarjana yang telah menyelesaikan studinya baik di dalam maupun luar negeri, adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, atau juga mereka yang punya ruh pendidikan pesantren. Sehingga greget mereka untuk “menjadi santri” cukup serius. Tentu hal itu akan mempengaruhi terhadap kualitas gerak ilmiah yang diterapkan dan digulirkan di dalam pesantren tersebut.
Jadi, di pesantren mahasiswa yang demikian ini, akan terus memacu untuk berkembangnya pola ilmiah, dan tentu hal itu sangat menjembatani terhadap para calon cendikiawan muslim kampus, maupun calon kiai pesantren. Utamanya para mahasiswa yang beckgron pendidikannya dari pesantren salafiyah(Tradisional) yang selama ini secara umum masih lamban dalam “menghidupkan gerak ilmiah”.
Hal tersebut, satu sisi, sama posisinya dengan Ma’had Ali atau bahkan STAI(Sekolah Tinggi Islam) yang lagi marak di berbagai pesantren saat ini. Yakni berfungsi sebagai jenjang pendidikan tinggi bagi para santri di pesantren tersebut. Dan bentuk pesantren mahasiswa yang demikian ini. Sama halnya dengan menciptakan universitas di dalam pesantren. Sebab, kalau yang tadi “menawarkan” kepada para mahasiswa untuk jadi santri. Sedangkan yang ini, “menawarkan” kepada para santri untuk jadi mahasiswa. Yakni tanpa adanya unsur penekanan.
Kita mengambil contoh pesantren Sukorejo Situbondo misalnya. Pesantren warisan KHR. Asy’ad Syamsyul Arifin itu, didalam pesantren tersebut telah berdiri universitas dengan nama Ibrahimy(14 Maret 1968). Yang kemudian dalam perkembangannya universitas Ibrahimy pada 25 Juli 1988, berubah menjadi Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII). Yang sampai saat ini institut agama Islam Ibrahimy telah memiliki tiga fakultas; Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Dakwah, dan lainnya. Ditambah lagi, telah membuka program Pasca Sarjana Magister Agama Islam Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Sukorejo Situbondo, dengan Visi Menjadi program study terkemuka yang menghasilkan tenaga akhli di bidang hukum Islam dan pendidikan Islam yang unggul dan mampu bersaing di era global.
Jadi, dalam hal ini, jelas terdapat perbedaan jauh. Antara pesantren di dalam kampus, dengan universitas di dalam pesantren. Sebab pesantren di dalam kampus hanya sebagai formalitas saja di sela-sela kegiatan ilmiah kampus, yang mana para mahasiswa “ditekan atau terpaksa” untuk menjadi santri. Sedangkan universitas di dalam pesantren, sebagaimana di sebutkan di atas tadi, dengan “menawarkan” kepada para santri untuk jadi mahasiswa, adalah sebagai faktor pengembangan sumber daya Ilmiah para santri di pesantren.
Bentuk kedua: Menekan Untuk Jadi Santri
Bentuk kedua dari pondok pesantren mahasiswa, adalah pesantren mahasiswa yang “menekan” para mahasiswa untuk jadi santri. Sehingga fungsi utamanya lebih cenderung sebagai benteng moral. Sedangkan gerak ilmiahnya ilmiahnya indolen dan statis. Dan pesantren bentuk kedua, dengan fenomena demikian ini, efektifitas pesantrennya sangat kurang.
Sebab, dalam pergumulan pemikiran kampus, dengan berbagai karakter dan pola pemikiran manusia. Yang juga tidak sedikit para mahasiswa yang “alergi” pesantren. Kiranya hal itu merupakan salah satu faktor yang dapat diyakini akan terus ‘’mengganjal” kelancaran lajunya “pesantren” itu. “Jika pesantren dijadikan sebagai lembaga pendidikan”.
Namun hal demikian, satu sisi cukup bagus dan sangat maslahat, sebab berstatusnya putra-putri bangsa bukan sebagai siswa biasa lagi, tetapi sebagai “mahasiswa”, bukanlah merupakan suatu jaminan, mereka akan terbebas dan mampu mengantisipasi berbagai jenis serangan “virus ganas” pergaulan bebas yang terus semakin gencar menyerang kehidupan putra-putri bangsa.
Maka dengan program yang dicanangkan oleh pihak kampus, yakni menciptakan pesantren di dalam asrama kampus, adalah sangat tepat. Sebab, meskipun sebagai “universitas Islam”, namun banyak sekali mahasiswa yang sebelumnya, belum tahu banyak tentang Islam, atau bahkan sama sekali belum bersentuhan dengan pendidikan ilmu agama Islam, misalnya mahasiswa yang terlahir dari keluarga yang kurang religius dan hidup di ibu kota, sebelum masuk ke universitas tersebut mereka menempuh studi pada SLTP/SLTA yang kurang pelajaran agamanya. Apalagi kadang faktor masuknya mereka keperguruan tinggi Islam itu, pun karena tidak diterima pada salah satu universitas bonafid(studi non agama) yang didambakannya.
Jadi, untuk kegiatan demikian ini, yakni sebuah “pesantren” di dalam kampus, dari sisi efektifitas “pesantren” jelas minim. Dan sebab itu pula, kurang tepat bila dinamakan pesantren, dan juga bisa dikatakan menyalahi eksistensi pesantren. Sebab para mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut, mengikuti program-program yang “dinamakan pesantren” itu, hanyalah berdasar ”tekanan”, untuk mengisi waktu kosong, di luar jam kuliah yang menjadi tujuan utamanya itu.
Sedangkan jelas, tujuan utama pesantren dalam hal pendidikan, adalah para santri bagian besar waktunya dituntut untuk memahami dan mengkaji ulumu ad-diniyah yang erat dengan syariah al-Islamiyah.
Beda halnya, kampus-kampus universitas Islam di negara-negara Timur -Tengah, seperti al-Qurawiyien Maroko, al-Azhar Mesir, Um al-Quro Makkah. Yang memang benar-benar menitik beratkan untuk mengkaji ulumu ad-diniyah[10], dan tidaklah akan bisa meraih gelar sarjana pada universitas tersebut, dengan tanpa adanya kemampuan ilmiah, yang diraih dengan usaha sungguh-sungguh.
Alhasil, adapun suasana religius yang diciptakan di dalam kampus di berbagai perguruan tinggi Islam di Indodesia, maupun asramanya, itu merupakan “kewajiban moral dan ilmiah” mereka sebagai “mahasiswa”, apalagi mahasiswa perguruan tinggi Islam.
Dan kiranya hal itulah yang membedakan antara para mahasiswa perguruan tinggi Islam, dengan para mahasiswa perguruan tinggi yang tidak berbeckgron Islam. Juga hal itu, untuk membedakan antara “mahasiswa” dengan “siswa” biasa, (maaf) siswa SD, atau siswa SLTP misalnya. Yang belum bisa banyak bersikap ilmiah sosial maupun ilmiah ubudiyah itu.
Bukankah kegiatan religius di kampus itu, lebih tepat bila dikatakan dengan nama lembaga da’wah kampus atau sejenisnya, dengan menerapkan berbagai pendidikan agama?
Ataukah, betapa berpotensinya lembaga pendidikan yang bernama pesantren, sehingga banyak bermunculan instustusi yang menamakan diri pesantren?
Kiranya, untuk hal ini, lebih cocok dimasukkan kedalam ekstra kurikuler. Namun, karena pendidikan dan suasana religius itu identik dengan pesantren, maka di lingkungan kampuspun corak religiusnya disebut: menciptakan pesantren di dalam kampus. Kita mengambil contoh UIS(Universitas Islam Sudan) yang berada dijalan Gajayana Malang itu, yang dulunya bernama STAIN(Sekolah Tinggi Islam Negeri) Juga UNISSULA(universitas sultan agung) Semarang yang pada tahun 1998, dan berbagai sekolah tinggi Islam lainnya, yang menggagas pesantren di dalam kampus, dengan kegiatan religius di dalamnya.
Jadi, menggagas pesantren dalam kampus itu, sama halnya sebuah lembaga pendidikan Islam, seperti yang banyak terdapat di mana-mana, yang sejak awal dibangunnya, para pendirinya menamakan diri “sekolah SLTP/SLTA Islam berasrama”, cuman para pengelola lembaga pendidikan tersebut ingin menciptakan suasana Islami, sehingga mereka meniru peraturan yang dijalankan oleh setiap pesantren, utamanya dalam pergaulan antara siswa-siswinya di kasih jarak sebagaimana para para santri di berbagai pesantren “yang benar-benar pesantren”.
Sehingga “suasana” di lingkungan sekolah Islam tersebut, hampir mirip dengan pesantren. Dan kiranya, dari pesantren mahasiswa bentuk kedua ini, kelak para alumninyapun, kurang tepat bila menulis biodata pribadinya, sebagai “alumni pesantren”, dalam kondisi dan untuk tujuan apapun. Sebagaimana yang banyak terjadi sekarang-sekarang ini, yang dilakukan oleh orang-orang anti pesantren, namun “membajak pesantren” ketika mereka membutuhkan nama(pesantren).
Fenomena demikian itu, juga sama halnya yang lagi marak akhir-akhir ini, banyaknya kost-kostan mahasiwi-mahasiswa di berbagai kota pelajar, yang menerapkan suasana religius, dan merubah nama kost-kostan menjadi “Pesantren”.
Serta bagi komunitas akademisi yang selalu komentar negatif terhadap pesantren. Bukankah gelar mahasiswa atau sarjana, itu lebih keren dari gelar santri atau ustadz, sebagaimana dalam anggapan orang-orang tanggung(orang kota bukan, orang kampung juga tidak, atau berpengalaman tidak, orang bodoh juga bukan) itu?
Namun faktor yang lebih tepat adalah: kenyataan zaman kiranya telah memberi jawaban kepada orang-orang “tanggung” itu. Dan ataukah kaum akademisi (utamanya perguruan tinggi Islam) baru terbangun dari tidurnya yang penuh dengan mimpi buruk, karena sibuk mencari kelemahan berbagai pondok pesantren, dengan maksud mencari ide pemikiran untuk sensasional, sehingga lupa untuk mengitrospeksi diri ?
Tulisan lama Nasrulloh Afandi, dibuat saat awal menempuh program strata satu di univ. Karaouiyine, Maroko
Sumber:
www.pesantrenvirtual.com
2/11/2004