Merehabilitasi Fondasi Dakwah(Islam Indonesia)

H Nasrulloh Afandi, Lc, MA

Frekuensi aktivitas peradaban Islam bangsa Indonesia dasawarsa ini, aspek institusional sungguh spektakuler. Semakin komfleksnya jaringan, media dan atau lembaga dakwah Islam yang bermunculan dengan nama berbeda-beda, dilengkapi kecanggihan berbagai fasilitasnya. Bahkan ajarannya pun sering saling “bertabrakan“.

Uniknya, internal (pranata religius Islam Indonesia) semakin “loyo“ dan memprihatinkan, dengan fenomena semakin kroposnya implementasi atau amaliah agama dalam tatanan kehidupan Muslimin, horisontal(sesama umat beragama) dan vertikal (dengan yang Maha Esa). Kesalahan siapakah itu?

“Virus Kronis“ Agama

Berbarengan semakin terpuruknya amaliah agama(Islam Indonesia). Harus disadari, banyaknya orang memproklamirkan diri katanya “pemikir ke-Islaman kontemporer“ –dengan berbagai kepentingannya(?)–, mengusung masing-masing ragam gerbong pemikirannya dengan hanya mengedepankan berbagai ide rasionalisme tanpa teladan amaliah yang berdasarkan otentitas Syariatul Islamiyah, pun realitas “di lapangan ibadah“ jelas hanya dominan mengakibatkanumat menjadi bingung untuk bisa kontinuitas (istiqomah) beribadah.

Paling “beruntungnya“, seiring derap globalisasi, liberalisme dan “saudara saudaranya“(pluralisme, sekularisme dan sejenisnya) hanya “dimanfaatkan“ sebagai payung kemaksiataan, vertikal dan horisontal, bagi Muslimin yang mayoritas kian deras “terpolusi“imannya.

Tidak kalah maraknya, bermunculan para “ustadz/kiai bajakan“, dengan background jauh dari pendidikan dan kualitas ilmiah(agama). Hanya dengan bermodal busana(Muslim) dan kemaheran wicara belaka. Uniknya, namanya pun sering mendadak dirubah atau ditambah, agar serasi untuk dirangkaikan dengan gelar ustadz/kiai.

Tentunya, pemahaman mereka terhadap agama asal “sekenanya“ saja. Ujung-ujungnya sangat ironi, sering melahirkan fundamentalisme, bahkan terorisme berkedok Islam, akibat “salah teknis“ dalam memahami hakikat agama.

Singkatnya, di negara yang katanya Muslim mayoritas (dalam kuantitas ini), cukup ngetrend, agama kerap hanya dijadikan alat kepentingan pribadi atau maksimalnya golongan tertentu. Di antaranya, agama lazim dijadikan “barter“ dengan sedikit popularitas, materi dan kekuasaan, bahkan argumentasi pijakan konflik.

Esensinya “meginjak wajah“ Islam(Indonesia) itu sendiri, dengan disaksikan oleh dunia Internasional.

Inilah diantara “virus-virus kronis menularkan infeksi“ yang mengkroposi terhadap stabilitas dan otentitas Islam (Indonesia). Sangat eksentrik ! bukan ?

Totalitas Modal Dakwah

Dr. Maurice Bucaille, ilmuwan asan Prancis, dalam bukunya“Le Bible le Coran etLa Science (1976)“, Ia berpendapat, bahwa dalam sejarah agama-agama di dunia, hakikatnya tidak ada satu pun agama yang mengalami kegagalan. Namun para pelaku dakwah masing-masing agama itulah sangat miskin energi untuk menjadi teladan bagi umat manusia yang jadi obyek utama agama yang dipromosikannya, sehingga mereka tidak maksimal bahkan banyak yang kandas dalam memperjuangkan misi dakwah(agama)nya. Dengan satu faktor tanpa teladan yang di lakukan dan disaksikan oleh publik.

Sangat tepat opini Thomas W.Arnold dalam bukunya “The Preaching of Islam(1896)“, seorang Orientalis pun Ia mengkritik tajam. Jika kafabilitas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, dalam berdakwah pada pribadinya terdapat uswatun hasanah(suri teladan), maka tentu hal itu pun berlaku bagi para pelaku dakwah Islam seterusnya.

Maka, jika Michael H. Hart, ahli falak(astronomi) dari Amerika, dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History(1978)“, Ia memposisikan Nabi Muhammad dalam peringkat pertama. Karena Muhammad adalah satu-satunya manusia yang luar biasa keberhasilannya dalam proyek keagamaan dan pemerintahan.

Saya menganalisa, dalam perspektifilmu balaghoh(sastra Arab), hal yang diungkapkan oleh Hart itu, Ia hanya melihat sebuah natijah(hasil) atau bentuk kesuksesan dari perjuangan.

Tepatnya, Ia hanya melihat besarnya “kepulan asap”(kesuksesan). Sayangnya tanpa melihat sumber “kobaran api” (uswatun hasanah Nabi Muhammad) sebagai muqoddimah(baca: modal utama dakwah) yang menghasilkan natijah atau “kepulan asap“(kesuksesan) itu.

Energi Dakwah Nabi SAW

Terlepas dari kualitas Nabi-Rasul. Dengan fasilitas, sarana -prasarana dakwah -–waktu itu– apa adanya, namun diakui oleh dunia, Nabi Muhammad SAW sangat sukses mengemban amanat sebagai Rasulullah kepada umatNya.

Padahal, biografinya Beliau “hanya“ seorang yang terlahir di bagian selatan Jazirah Arab dari rahim Seorang janda sangat miskin, sebab Ia ditinggalkan ayahNya ketika masih berada di rahim ibuNya dan tanpa ditinggali secuil pun warisan harta. Ketika kanak-kanak Ia juga berprofesi sebagai penggembala kambing.

Tetapi, tidak bisa dipungkiri, dalam posisiNya sebagai afdolu al-Makhluqot (Makhluk paling Istimewa) itu, Ia juga mampu menjadi uswatun hasanah”, sesuaifirman Allah QS. al-Achzab, ayat : 21, dan QS. al-Mumtahanah, ayat; 6: “bahwa dalam pribadi Rasulullah SAW, terdapat suri teladan“.

Inilah, modal dan energi esensial yang mengantarkan-Nya sukses mengemban misi, untuk merubah tatanan dunia dari jahiliah (baca: hewani) menjadi tatanan ilmiah(baca: insani), dengan iklim kehidupan religius dan berwawasan ini.

Tragisnya. Hal tersebut, kini telah terlupakan atau bahkan sangat mungkin sengaja dilupakan oleh orang-orang yang “memproklamirkan dirinya“ sebagai generasi penerus dakwah Islam, yang semestinya harus always menjadi uswatun hasanah itu.

Fakta Kegagalan Dakwah

Diantara resikonya, minimalnya manalah mungkin umat akan mau mengamalkan anjuran sang muballigh (promotor), bila si promotor sendiri tidak mengamalkannya.

Realitasnya ! Tidak bisa dipungkiri, selain dikenal oleh dunia, Indonesia adalah negara Muslim mayoritas dalam kuantitas. Dunia pun telah mengenal pula, dasawarsa ini moralitas beragama Muslimin bangsa kita dari“akar bumi“ sampai “atap langit“, sungguh memilukan.

Fenomenanya, semakin membludaknya “prestasi“ dekadensi al-Akhlak al-Hasanah(terpuji) dari “akar bumi“ sampai “atap langit“ bangsa Indonesia, dan dengan pesatnya didominasi oleh al-Akhlak as-Sayyiah(tercela). Meskipun dengan macam yang beda-beda, misalnya saja banyak yang terjerembab kedalam kubangan free sex, kecandu mengeruk duit negara dan lainnya.

Itu semua, cukup sebagai fakta akurat bahwa keberhasilan berbagai jaringan atau institusi dakwah Islam (bangsa kita) kurang maksimal, sungguh mengecewakan, bahkan juga layak dinyatakan gagal.

Fleksibilitas Islam

Islam bukan hasil rekayasa manusia. Misalnya saja seperti agama Budha, yang merupakan hasil rekayasa manusia, sebagai penemuan isolasi atau semedi sang Budha Gautama, yang bernama asli Sidarta putra maharaja Kafilavastu dari India (Michael H. Hart, 1978) itu.

Bukan pula seperti pendapat Snouck Hurgronje (1934) bahwa Islam datang kepada Muhammad, lewat jalur yang tidak jelas dan tidak kuat, dengan bentuk mimpi murni.
Mutlak(tidak bisa dipungkiri) Islam adalah agama haq dari Allah SWT dan sangat jauh dari kekurangan, apalagi kegagalan, di antaranya ditegaskan oleh QS. al-Maidah ayat; 3.

Jarang dikaji. Aspek ushul-alfiqh. Sebagai fleksibilitas hukum Islam, dinyatakan.

“Mayoritas ulama, khususnya ahlissunah waljamaah pun sepakat, bahwa al-Quran adalah sumber utama al- Adillah al-Muttafaq(landasan hukum yang disepakati ulama) dari totalitas syariatul Islam, selain as-Sunnah menempati posisi kedua; al-Ijma urutan ketiga, dan ke empat adalah al-Qiyas.

Tidak ada (golongan Islam) yang mengingkarinya, kecuali golongan sayap kiri, utamanya arrowafid (baca:pembangkang), yang mengingkari terhadap kesucian al-Quran yang ada sekarang.

Masih dilengkapi pula dengan al-Adillah al-Muchtalaf(dasar hukum yang terjadi perbedaan pandangan antar ulama), dengan macam: al-Istihsan, al-Masholihulmursalah, Saddudaroi’, U’rf, Sara’ manqoblana, Madzhabussohaby, dan al-Istischab“(lihat; al-Ghozali, al-Musytashfa, vol. 1).

Masing-masing dalil sar’i tersebut, sangat fleksibel, danbisa diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi yang menuntut. Sesuai qowa’id al-Fiqh, “al-hukmu yadurru ma’a illatihi’adaman wa wujudan“ atau implementasi hukum fiqh tergantung dari sebab-sebabnya, berkaitan dengan ada atau tidaknya hukum itu sendiri.

Jelaslah, hakikat Islam adalah agama fleksibel, dinamis dan sempurna. Syariatnya, bukanlah pula “doktrin“ yang kaku dan beku. Dengan kata lain, telah “bising“ kita dengar: al-Islam sholih likulli jaman wa makan, atau Islam eksis di mana dan kapanpun.
Dengan totalitas fleksibilitas Islam itu, sekali lagi adalah suatu kemaslahatan yang sangat, bila para pelaku dakwah kembali menarik nuqthoh (nilai) uswatun hasanahsebagai modal ke dalam berbagai aspek gerak-lingkup dakwah.

Sesuai opini komunitas terpelajar: “bahwa mengungkapkan teori(ajaran agama) itu sangat lebih mudah dari pada mengamalkannya“.

Ya ! Realitas sekarang ini, sangat tepat kita menyerukan: Juru dakwah Islam Indonesia dinyatakan mengalami kekurangan energi keteladanan dalam berdakwah. Padahal diantara retorika dan etika dakwah adalah bil hal(dibuktikan dengan sikap).
Identiknya, mereka mayoritas hanya pandai pamer teori(agama) namun nihil implementasi(amaliah). Kalau fenomena tersebut terus-menerus terjadi dan subur berkembang, sungguh merupakan “duka cita agama“ yang berkepanjangan dan sangat memilukan.

Apakah ilmiah, realistis dan logis?

Penulis, adalah anggota pengasuh pesantren asy-Syafiiyah Indramayu.

Pertama publikasi di:

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=7508

21/11/2005

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!