M. Achfas syifa Afandie
Sebetulnya inti dari iman disamping meyakini keberadaan sang Khalik, iman bisa berfungsi untuk membenarkan pemahan agama dengan cara beriman dengan apa yang telah di perintahkan agama… kiranya suatu keniscayaan tentang konsep teologi agama, bila tidak membenahi pemahaman yang selama ini masih berkutat pada teologi konservatif-tradisional berganti dengan rasional-praktis. Dan lebih menekankan nilai-nilai praktis dalam kehidupann beragama, sehingga pada akhirnya bisa terwujud pribadi paripurna yang selama ini diidam-idamkan.
Dalam kehidupan bernegara, tidak bisa dipisahkan adanya peranan agama, hal ini sesuai citra manusia sebagai mahluk sosial yang bukan hanya saling membutuhkan pada sesama, tapi lebih dari itu, yakni pada sang Khalik. Begitu pentingnya agama (Islam) mengatur kehidupan umat menusia dalam segala aspek kehidupan, yang pada akhirnya agama bukan hanya mengatur kehidupan umat manusia, tapi lebih concern memperbaiki dan mendidik moralitas bangsa.
Pandangan dan penjabaran tentang ”al-din” sering dipahami secara parsial/ sepotong-sepotong. Mau tidak mau agama sering dikerucutkan pada pelbagai peraturan yang diterapkannya, terlebih kekurang-terbukaan sering dijadikan alasan ketidak-mauan bangkit dari keterpurukan.
Konsep teologi agama sering disudutkan hanya sebatas penopang moral dan menjadi alat legitimasi kaum tertindas (mustad’afin), terlebih marjinalisasi dianggap hal yang biasa. Yang menyebabkan mereka (baca: mustad’afin) berjalan stagnan dan sulit sekali untuk bangkit. Realitas ini berdasar pada ”fatalisme” bahwa sesungguhnya setiap sesuatu di dunia ini telah tertulis zaman azali, dalam teologi Islam di kenal dengan al-Jabariyyah (fatalisme).
Untuk langkah lebih lanjut, pemahaman teologi agama seharusnya diarahkan bukan sebatas pokok ajarannya (ad-din as-sholih). Tapi lebih ditekankan pada makna sesungguhnya, yakni perubahan yang hakiki. Perubahan yang selalu memegang teguh ajaran rasul dan lebih menekankan nilai historis keislaman. Tujuannya tak lain untuk menolak anggapan bahwa agama hanya menjadi penopang moral dan tidak lebih dari itu.
Kekurang-fahaman makna literal agama yang sesunguhnya, menjadikan seseorang enggan dan bahkan meninggalkan nilai-nilai agama. Terbukti banyak kalangan menilai bahwa peraturan yang diterapkan agama menjadikan kekurang-bebasan dalam beraktifitas. Pada akhirnya mereka beramai-ramai meninggalkan simbol agama yang selama ini menjadi nilai lebih. Seperti enggan memakai penutup kepala (jilbab) atau mengartikan makna solat sebatas etimologinya, yakni ad-du’a (doa) tanpa memandang makna istilahinya (terminologinya).
Semua itu, didasari beberapa faktor, di antaranya, kekurang-mengertian dalam mengartikan teologi agama. Bisa juga di sebabkan kurang dalam memahami arti agama itu sendiri, yang keberadaannya sangat berkaitan dengan teologi agama. Keberadaan iman, ilmu, dan amal ketiganya menjadi mata rantai yang harus sinergi. Oleh karena itu, ketiganya tampil menjadi mainstream dalam sebuah pemahaman agama. Akan sulit kiranya sebuah pemahaman jika iman hanya disandarkan pada kesalehan vertikal, tanpa dibarengi dengan kesalehan amal. Sebetulnya inti dari iman disamping meyakini keberadaan sang Khalik, iman bisa berfungsi untuk membenarkan pemahan agama dengan cara beriman dengan apa yang telah di perintahkan agama. Setelah itu, kita bisa mengetahui subtansi agama itu sendiri. (Bactiar khamsah: 47. 2004).
Kiranya ini menjadi tantangan kedepan dalam memaknai arti agama sesungguhnya. Sebab dalam kehidupan beragama tidak bisa lepas dari konsep trilogi yang keberadaannya sangat di butuhkan. Lebih lanjut tentang konsep trilogi adalah iman, ilmu dan amal, karena ketiganya bisa memberi pemahaman dalam teologi agama. Sebab ilmu harus berpijak pada iman dan berujung pada amal. Beriman tanpa ilmu itu dilarang dalam agama (Islam), begitu pula sebaliknya berilmu tanpa iman. Apalagi beriman tanpa ilmu dan amal, memungkinkan kurang bisa memahami makna teologi agama.
Pada dasarnya pemahan agama bukan hanya diarahkan pada permasalahan yang berujung hubungan antara manusia dan Tuhan (khablum minallah). Tapi keberadaan agama memungkinkan kita mengetahui lebih jauh dari itu. Perlu diingat, kelahiran agama bukan di ruang hampa, melainkan sebagai respons terhadap realitas kehidupan. Maka ironis, ketika seorang mengaku taat beragama justru mengingkari pesan agama. Robert N. Bellah, filosof abad pertengahan, mengomentari permasalahan ini. Ia mengatakan, ”Agama adalah cara mengetahui Negara-bangsa. Yang pada akhirnya, memaksa kita saling membutuhkan satu sama lain.”
Bahkan saking pentingnya peran agama dalam kehidupan. Frank Walling ketika mendefinisikan agama, menyatakan bahwa sebuah komunitas iman bisa disebut agama, manakala memiiki delapan unsur di dalamnya. Diantaranya: kehidupan sosial dan bermasyarakat. Walling menilai Islam adalah agama yang mempunyai keterlibatan yang lebih dalam kehidupan. Penilaian seperti ini tidak hanya datang dari non-Muslim. Farid Esack, muslim liberal berkebangsaan Afrika Selatan, meyakini hal itu. Bisa diambil kesimpulan, teologi agama tidak hanya terfokus pada ritual ibadah semata. Tapi berkaitan erat dalam kehidupann bermasyarakat (khablum min-annas).
Kiranya suatu keniscayaan tentang konsep teologi agama, bila tidak membenahi pemahaman yang selama ini masih berkutat pada teologi konservatif-tradisional berganti dengan rasional-praktis. Dan lebih menekankan nilai-nilai praktis dalam kehidupann beragama, sehingga pada akhirnya bisa terwujud pribadi paripurna yang selama ini diidam-idamkan.
Semoga!
*) Siswa Madrasah Tsanawiyyah Hidayatul Mubtadi-ien, Ponpes Lirboyo, Kediri, Jatim. Redaktur Mading AL HIDAYAH.