Menurut saya, jihad merupakan pengorbanan nyawa yang sia-sia, dan mujahidin tidak lebih dari para pembunuh di jalan Tuhan; menghalalkan pembunuhan atas nama Tuhan (agama). Menjual simbol agama untuk membakar emosional keagamaan.
Setahu saya, seperti terekam dalam pesan nabi setiba dari Perang Tabuk, jihad paling berat adalah perang melawan hawa nafsu (jihad akbar). Jihad yang relevan ruang dan waktu. Beberapa tahun terakhir gema jihad ramai menyeruak, termasuk di tanah air. Entah apa unsur yang mendorongnya, teriakan jihad –selain ramai juga—mendapatkan respons positif dari sebagian kaum muslimin. Kita masih ingat peristiwa Ambon dan Maluku, misalnya, beberapa tahun lalu. Sebuah peristiwa memilukan.
Abu Al Faris dalam magnum opus-nya, Al Sirah An Nabawiyyah: Dirasah Tahliliyyah, menguraikan bahwa bagi orang yang mengikuti perkembangan jihad nabi sejak beliau di Makkah sampai ketika nabi dan pengikutnya pindah ke Madinah, maka akan menemukan perbedaan konsep jihad yang sangat tajam. Saat masih berada di Makkah jihad nabi adalah jihad lisan. Di Makkah nabi sama sekali tidak pernah melakukan peperangan, melainkan hanya beradu argumen (hujjah) yang semakin memperkuat sebagai seorang utusan Langit. Jihad nabi yang demikian merupakan pengejewantahan riil dari jihad akbar (Q.S. : Al Furqon: 52).
Adapun ketika beliau sudah berada di Makkah konsep jihad berubah menjadi angkat senjata ke medan perang (Q.S Al Hajj: 39—40). Apakah Islam Makkah berbeda dengan Islam Madinah?
Saat itu, kaum muslimin baru berupa komunitas kecil di Madinah. Sebuah komunitas yang belum mempunyai arti apa-apa dibandingkan kekuatan status quo kaum Quraisy. Komunitas muslim dalam ancaman yang sangat berbahaya dari suku Quraisy yang ingin mempertahankan status quo. Apalagi suku itu ditopang oleh kekuatan Yahudi yang mengingkari janji dengan kaum muslim. Quraiys semakin solid dengan dukungan musyrik Arab dari luar Makkah, yang tidak mau menerima kehadiran Islam tentunya.
Pada saat itu pula, peperangan antar suku adalah jalan keluar menyelesaikan permasalahan; peperangan menjadi norma keseharian bangsa Arab. Maka dari itu, untuk menjaga eksistensinya umat Islam pun harus berperang melawan tangan tiran. Ancaman yang berat itu membuat kaum muslim hanya punya dua pilihan: langgeng atau hancur (to be or be not).
Jika umat Islam pasrah pada kenyataan zaman yang tidak berteman, maka kemungkinan saat ini tidak ada lagi orang yang beragama Islam. Hal itu dirasakan oleh nabi. Karena didorong kekhawatiran punahnya agama yang baru seumur jagung, nabi meminta pada Tuhan agar memberikan kemenangan ketika beliau dan sahabatnya hendak turun perang pertama kali. Waktu itu, nabi meminta perlindungan (dan kemenangan) karena bila kaum muslim kalah pada perang pertama dalam daftar sejarah Islam itu, ”Tidak akan ada lagi yang akan menyembah-Mu,” nabi menutup doanya.
Akhirnya, setelah sekian lama sabar menahan siksaan dan penindasan kaum Quraiys (Q.S. :Al Ahqaf: 35) umat Islam berperang—sekali lagi—untuk membela diri. Perintah perang ini terekam dalam firaman Tuhan berikut, ”Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya” (Q.S.: Al Hajj: 39).
Ayat lain yang memerintahkan kaum muslim membela diri diabadikan dalam surat Al Baqarah: 191, ”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah). Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”
Dari sini bisa diambil benang merah bahwa jihad (baca: berperang) kaum muslimin pada masa itu tidak lain untuk membela diri dan agama yang akan dihancurkan oleh musuh-musuh Tuhan. Saat itu, komunitas kecil itu bagai bola di ujung jarum. Hanya jihad yang bisa menyelamatkan mereka dari tikaman tangan-tangan jahat yang siap membabat.
Kontekstualisasi Jihad: Mewujudkan Ruh Islam yang Rahmatan Lil Alamiin
Apakah jihad harus selalu berperang? Apakah jihad harus menumpahkan darah? Apakah jihad harus selalu identik dengan pengorbanan nyawa?
Setahu saya, seperti terekam dalam pesan nabi setiba dari Perang Tabuk, jihad paling berat adalah perang melawan hawa nafsu. Jihad yang relevan ruang dan waktu. ”Kita telah kembali dari jihad skala kecil (jihad ashgar) ke yang lebih besar (jihad akbar),” sabda nabi kepada para jundullah, tentara Tuhan, yang baru pulang dari Perang Tabuk. Jadi, jihad tidak melulu angkat senjata. Bahkan jihad angkat senjata lebih ringan dibandingkan dengan jihad memerangi hawa nafsu sendiri.
Berjihad dalam arti berperang juga harus untuk tujuan-tujuan yang ditoleransi (diwajibkan) oleh Islam. Jihad bukan asal perang atau meledakkan bom, apalagi sampai mengorbankan nyawa tidak berdosa. Diantara tujuan jihad yang disyariatkan agama, antara lain, menurut Abu Ayyub, dalam Sirah Al nabawiyyah¬-nya. (1) Untuk membela orang-orang yang lemah: wanita, anak-anak, orang yang sudah lanjut usia, dan lain sebagainya dari setiap orang yang membutuhkan perlindungan (QS : Al Nisa: 75). (2) Membela diri, harta, dan tanah air. Kasus ini bisa kita lihat pada masa awal penyebaran Islam (Dr. Mohamed Abdul Qadir Abu Ayyub Al Faris. Al Sirah An Nabawiyyah: Dirasah Tahliliyyah. Oman: Darl Al Furqon). (3) Kaum muslimin lebih dahulu dianiaya atau diserang pemukimannya (Mohamed Al Khadhari. Nurul Yakin. Edisi-II. Baerut: Darl Al Jiil).
Dalam pada itu, bisa kita lihat pada kaum minoritas muslimin Makkah; mereka diusir dari tanah air, harta dirampas, juga menerima penyiksaan dari pemegang status quo. Dalam konteks Indonesia bisa kita temukan saat pengusiran penjajah Belanda dan Jepang. Akan tetapi, kasus Indonesia dewasa ini jihad dalam arti perang sama sekali tidak relevan. Jihad yang tepat untuk konteks Indonesia dewasa ini adalah jihad akbar, bukan jihad asghar (angkat senjata).
Maka dari itu, menurut hemat saya, jihad di Ambon atau Maluku, misalnya, tidak lebih dari pengorbanan nyawa yang sia-sia, dan mujahidin” tidak lebih dari para pembunuh di jalan Tuhan; menghalalkan pembunuhan atas nama Tuhan (agama). Menjual simbol agama untuk membakar emosional keagamaan.
Selain syarat-syarat di atas, pakar yuridis hukum Islam (fuqoha) sudah merumuskan secara ketat syarat jihad; kapan wajib, kapan sunah, semua sudah dipahat denga indah oleh mereka. Karena keterbatasan halaman saya sengaja tidak membahasnya dengan detail.
Mengejewantahkan jihad ke dalam bentuk yang elegan sesuai tuntutan ruang dan waktu Indonesia temporer menjadi langkah bijak. Dengan pengejewantahan yang elegan itu, kita bisa mewujudkan ruh Islam yang rahmatan lil alamamin.
A. Muntaha Afandie