Pembelajaran Spiritual dengan Ziarah Kubur

Mecca Nabilah El Shofiah

Ziarah kubur adalah sarana pembelajaran spiritual dan akhlak yang efektif.

Selama ini kita terkurung dalam koridor [perdebatan] sempit: hukum bidah-tidaknya ziarah kubur. Sehingga kita lupa untuk menyelami intisari ziarah kubur yang diajarkan nabi: sarana pembelajaran spiritual dan akhlak yang efektif. Dalam artikel pendek ini, penulis mencoba untuk menjauh dari polemik lama dan menggali intisari dari perintah ziarah kubur yang terlupakan.

Ziarah kubur jadi sarana pembelajaran spiritual karena menyadarkan kita: kapan dan dimana pun kematian pasti mampir jua.

Dengan demikian, kita termotivasi memperbaiki diri: meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tak bermanfaat. Dan seyogyanya mendermakan sebagian rezeki yang kita miliki karena setelah kita berada di dalam kubur yang sempit, harta yang melimpah dan rumah yang mewah tak akan dibawa kecuali bila kita mensedekahkannya (amal jariyah). Maka, kita dapat ”membawa” harta-benda—yang dijariyahkan—ke dalam kubur.

Abi Hurairah r.a pernah menceritakan pengalamannya ketika menemani nabi ziarah ke pesarean (kuburan) ibundanya. Waktu itu, demikian riwayat Abi Hurairah, nabi ziarah ke kuburan ibunya. Ia tak meminta ampun pada ibunya. Nabi bersabda, ”Saya diperintahkan ziarah tapi dilarang meminta ampun [pada ahli kubur]. Maka, ziarah kuburlah. Sebab, ziarah kubur mengingatkan pada kematian.”

Teks cerita Abu Hurairah itu berbunyi, ”Annan-nabiya zaara qabra ummih-i walam yastaghfir lahaa. Qaala, ’Umirtu biz ziyaaratil-qabri wa nuhiit-u anil-istighfaari fazuuruul-qubuura fa-innahaa tudzakkirul-mauta’.”

Dalam pada itu, kita bisa membaca hadis shahih riwayat Imam Ahmad Ibn Hanbal, ”Saya pernah melarang kalian ziarah kubur. (tapi hari ini saya memerintahkan kalian) ziarah kubur lah. Sebab, ada pembelajaran dalam ziarah kubur (Inni nahaitukum ‘an ziaaratil-qubuur-i; fazuuruuha. Fainna fiiha ‘ibrat-an).”

Dengan ziarah kubur, kita semakin yakin bahwa kehidupan di dunia hanya sementara. Manusia pasti kembali ke asal dia diciptakan; tanah. Bahwa manusia yang memiliki harta berlimpah atau jabatan yang ”melangit” kelak setelah mati pasti kembali ke liang lahat yang sempit dan gelap, sama seperti yang lain. Di sana kehidupan yang sebenarnya: bagi orang-orang shaleh dan beramal baik dapat menikmati kesenangan di akherat, bagi yang jahat dan durhaka selamanya akan ditimpa petaka (baca: azab).

Dengan demikian, manusia akan termotivasi untuk meninggalkan kemungkaran; dan sedikit demi sedikit merubah lakunya yang nista jadi manusia yang berakhlak mulia dan beramal shaleh. Nabi bersabda, ”Saya melarang kalian berziarah kubur. Mengapa kalian tidak ziarah kubur? Sebab, ziarah kubur dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingatkan kematian, dan tak [lagi] mengumpat (hajr; kata-kata kotor, umpatan).”

Ketika manusia mengingat kematian, meneteskan air mata (menyesali dosa-dosanya), maka ia akan ”memodifikasi” dirinya agar jadi lebih baik. Disini lah letak pembelajaran spiritual itu: mulai intensif menjalin ”komunikasi vertikal” dengan Tuhan.

Dan ada pembelajaran akhlak saat ziarah kubur karena kita dituntut untuk mematuhi etika saat berziarah. Sebab, ketika kita berziarah, ada rambu-rambu yan harus ditaati, sebagai mana hadits yang penulis kutip di atas: tak berdoa pada ahli kubur.

Peziarah hanya menjadikan ahl kubur sebagai wasilah untuk ”mempararelkan” dia dengan Tuhan, bila ahli kubur orang shaleh. Atau, memintakan ampun pada Tuhan agar mengampuni dosa-dosa ahli kubur serta melapangkan ”kontrakan” abadinya, bila ia ”orang biasa”. Wallahu a’lam bis-shawab.[]

** Mecca Nabilah El Shofiah sedang nyantri di Asy-Syafi’iyyah, Kedungwungu, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!