Di Maroko, selama bulan Ramadan ada dua macam pengajian. Pertama pengajian di istana raja untuk kalangan tertentu. Kedua pengajian untuk semua masyarakat yang dilaksanakan di seluruh pelosok daerah kekuasaan Raja Mohammad As-Sadis ini.
Pengajian di Istana
Ad-Durus Al-Hasaniah, adalah nama majelis pengajian bergengsi, bertempat di istana Raja Maroko yang dilaksanakan menjelang Magrib, setiap hari selama bulan Ramadan.
Pengajian tersebut adalah rutinitas yang dilaksanakan sejak puluhan tahun silam, warisan dari Raja Hasan As-Sani. Karenanya pengajian tersebut dinamakan ‘Ad-Durus Al-Hasaniah’, dari nama Raja ‘Hasan’ itulah nama pengajian diambil dan dinisbatkan. Sebagaimana juga latar belakang didirikannya Institut Islam bernama ‘Dar Al-hadits Al-Hasaniah’ yang terkenal di ibu kota Maroko, Rabat.
Memang, sebelum masa Raja Hasan Dua, di isatana Raja Maroko ada pengajian, tetapi majlis pengajian tersebut adalah lain konteks, dan bukanlah merupakan embrio dari “Durus Hasaniah”.
Dalam perkembangannya, atas perintah raja, pengajian tersebut kini dikoordinir oleh Wizaroh al-Auqof wa As-Syu’un Al-Iislamiyah (Departemen Agama) Maroko. Demikian dikatakan Dr Idris Khalifah, dekan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Qurawiyin, Tetouan, Maroko yang juga pengurus pusat Al-Majlisb Al-Ilmi Al-A’la (Organisasi Ulama) Maroko itu. Kepada Nasrulloh Afandi via ponselnya
Materi dalam pengajian ini adalah sangat akademis dan kontemporer. Setiap harinya bergonta-ganti penceramah, selain ulama pilihan asal Maroko, utamanya juga menghadirkan para ilmuwan Islam papan atas, seperti dari Mesir, Arab Saudi, Suriah, Emirat Arab dan negara lain-lain.
Peserta pengajian ini hanya kalangan terbatas, seperti para petinggi istana dan para tokoh Maroko tertentu, dengan tamu undangan para ulama tertentu dari dalam dan luar Maroko, juga mengundang para duta besar negara sahabat dari masing-masing kedutaan yang terdapat di Rabat, Maroko.
“Juga diikuti oleh Raja Mohammad As-Sadis sebagai tuan rumah, didampingi oleh adiknya Pangeran Rasyid,” tutur Idris Khalifah yang juga pernah menjadi salah satu narasumber di konferensi cendekiawan muslim dunia (International Conference of Islamic Scholars/ICIS) yang dilaksanakn oleh PBNU di Jakarta beberapa tahun lalu itu.
Sedangkan masyarakat umum hanya bisa menyaksikan lewat siaran televisi dari rumah masing-masing.
Kumpulan makalah dari setiap pengajian tersebut, dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku oleh Departemen Agama Maroko. Bahkan ada pula yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pengajian Masyarakat
Sedangkan pengajian untuk masyarakat diberikan oleh Al-Majlis Al-Ilmi, organisasi ulama, resmi dan terbesar di Maroko. Al-Majlis Al-Ilmi didirikan beberapa puluh tahun silam atas SK Raja Maroko waktu itu. Dengan para pengurusnya ulama sayap kanan terkemuka di negara yang terdapat banyak para wali ini.
Pengurus pusatnya dinamakan ‘Al-Majlis Al- Ilmi Al-A’la’ sedangkan pengurus cabangnya dinamakan ‘Al-Majlis Al-Ilmi Al-Mahalli’. Para ulama inilah yang telaten terjun ke bawah, melaksanakan pengajian untuk semua lapisan masyarakat di setiap bulan Ramadan.
Struktur pengurus pusatnya hanya terdiri dari ketua, saat ini dijabat Dr Ahmad Taufiq(Menteri Agama Maroko), di bawah ketua ada Sekjen yang saat ini dijabat oleh Syeikh Dr Muhammad Yisif. Di bawah ketua dan sekjen, ada 15 ulama sebagai anggota pengurus pusat. Selain juga ada pengurus tambahan dengan beberapa lajnah (bagian) seperti lajnah studi dan kajian, dan lain-lain.
Meskipun terdapat ketua, tetapi sekjenlah yang aktif dalam menerapkan beberapa kebijakan organisasi ini. Seperti dikatakan M Yisif, setiap Ramadan, organisasinya mengadakan berbagai muhadoroh (pengajian) sebagai upaya pembinaan masyarakat dalam konteks beribadah.
Karenanya, setiap bulan Ramadan, pihaknya melalui kordinasi dengan pengurus cabang di masing-masing daerah, selain mengadakan berbagai aktivitas pengajian di aula kantor cabang masing-masing daerah, diperuntukkan untuk semua lapisan masyarakat, dengan penceramah para ulama setempat.
“Juga yang lebih penting adalah mengadakan kegiatan pengajian hampir di seluruh masjid di Maroko, tak terkecuali masjid-masjid yang terletak di pedalaman sekalipun,” ujar Yisif yang juga salah satu penasehat Raja Maroko itu. Kepada Nasrulloh Afandi
Topik dan materi dalam pengajian-pengajian tersebut umumnya adalah yang ringan-ringan, sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat umum, seperti seputar keutamaan ibadah di bulan Ramadan.
Sedangkan penceramahnya adalah para imam masjid setempat, atau didatangkan dari kalangan dosen studi Islam yang berdomisili terdekat dari masing-masing masjid.
Pengajian itu sendiri dilaksanakan dengan cara penyampaian ceramah, sedangkan jamaah mendengarkan. Ceramah umumnya menggunakan bahasa Darijah (bahasa lokal).
Adapun waktu pelaksanaannya, adalah ketika menjelang salat berjamaah setelah azan dikumandangkan, berlangsung sekitar rata-rata 15-20 menit sambil menunggu berkumpulnya jamaah yang akan mengikuti salat di masjid tersebut. Umumnya, dilaksanakan di sela-sela waktu antara azan dan salat Zuhur, Ashar dan Isya.
Dan memang masjid-masjid di Maroko pun selalu dikunci–termasuk di bulan Ramadan ini-kecuali di setiap waktu salat lima waktu(detikRamadan 31Agustus 2009).
Apalagi di Maroko, tidak ada majelis taklim seperti marak di Indonesia. Jadi aktivitas pengajian semacam itu sangat penting sebagai lahan pembekalan masyarakat Maroko dalam beribadah.
Dua jenis pengajian tersebut, di Istana Raja dan di masjid, tidak ditemukan di luar bulan Ramadan. Memang ada sebagian masjid di sudut wilayah bagian Maroko yang mengadakan pengajian dengan cara semacam itu di waktu-waktu tertentu menjelang salat di luar bulan Ramadan, tapi aktivitas semacam itu bisa dihitung dengan jari.
(Nasrulloh Afandi)
Tulisan lama masih relevan.
Pertama publikasi di:
www.detik.com Kamis, 17/09/2009 10:13 WIB
http://search.detik.com/index.php?fa=detik.search&query=Nasrulloh+Afandi+Maroko&sortby=time&sorttime=0&site=all&location=&fromdatex=&todatex=
Versi lain di:
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=19498