Sufisme dan Kebangkitan Nasional (2/habis)

Formalisasi Hukum vs Moralitas Hukum: Study Kasus SBY

Dr K.H. A. Najib Afandi, MA

Dalam sejarah pemerintahan Indonesia belakangan ini ada beberapa gerakan politik yang lucu dan luput dari kesadaran dan analis kita. Setelah roda reformasi menggelinding meruntuhkan dinding kediktatoran Orde Baru (Orba) pemerintah terpilih berusaha memenuhi harapan rakyat untuk memberantas korupsi yang sudah merakyat dalam usahanya membangun Indonesia baru yang sejahtera dan aman. Tapi sayang usaha itu baru sebatas formalitas belum dapat mencabut akar dan pola politik Orba sehingga tampilan dan gerakan politik pemerintah sekarang (dan selanjutnya) belum bisa memenuhi banyak harapan rakyat Indonesia.

Semangat pemberantasan korupsi dan kebangkitan nasional ala SBY memang tampak mencolok mata rakyat dengan dibentuknya berbagai badan dan departemen khusus bentukan presiden seperti KPK dan lainnya, tapi semua itu belum bisa meredam semangat korupsi pejabat. Justru yang terjadi sebaliknya semangat berkorupsi semakin merakyat dari tukang sapu jalan hingga tukang becak bahkan Kiai banyak yang terjebak ”korupsi” dengan santri dan rakyatnya? Paling tidak korupsi jam berjamaah dan waktu mengaji karena sibuk mengurusi partai dan kerjaan lainnya yang “berduit”.
Pemerintah juga terus berusaha membangun kesejahteraan hidup rakyat dengan membentuk beberapa tim ahli kepresidenan dalam bidang ekonomi dan badan-badan perekononmian dan lainnya. Usaha ini pun bisa dikatakan gagal karena masih berdiri di atas kelompok dan ideologi lama; korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pergantian tim sudah sering dilakukan dan tim pengawas ekonomi terus bertambah, hukum dan undang-undang selalu diamandemen tapi tetap saja mandul, Indonesia belum bangkit sebab masih terjerat hutang dan rakyat tetap kelaparan, sistem ekonomi dan politik tetap mencekik rakyat.
Dalam bidang hukum SBY juga tidak kalah galak dan tidak patah semangat untuk menegakan keadilan dan kesetaraan hukum bagi setiap warga Indonesia dan agar setia dan taat kepada hukum yang berlaku, seperti dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) dan lainnya. Bahkan hampir setiap lini pemerintahan, kemasyarakatan dan departemen yang ada selalu dibuat peraturan dan undang-undang khusus bagi karyawan dan rakyat. Tapi lagi-lagi semua itu belum bisa memenuhi keinginan dan harapan rakyat dan pemerintah.
Dalam bidang pendidikan pemerintah juga mulai meningkatkan perhatiannya dengan mengawasi dana pendidikan nasional yang sejak beberapa dekade selalu “tersunat” di jalan bahkan banyak yang tidak sampai ke sekolah bersangkutan yang mengakibatkan lemahnya mutu pendidikan nasional. Maka, dibentuklah tim khusus baik di Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama dengan menyesuaikan pemetaan wilayah pendidikan. Dan usaha inipun kelihatannya belum maksimal karena minimnya anggaran pendidikan, jauh di bawah dana politik yang terus menyengsarakan rakyat.
Begitu juga dengan departemen Sosial dan khususnya departemen luar negeri, perlindungan warga Negara di luar negeri dan lainnya semuanya belum bisa diawasi secara ketat oleh hukum dan belum bisa memberikan pelayanan yang maksimal. Faktor utama yang sesungguhnya mengantarkan Indonesia kepintu kebangkrutan dan ke-tidak-wi-bawa-an di mata internasional adalah KKN akibat hancurnya mental dan spiritual baik tingkat pejabat maupun rakyat. Sehingga seribu badan hukum yang dibuat tidak akan bisa merubah Indonesia untuk menjadi maju, sejahtera, aman, dan bermartabat kalau menejemen internal pelakunya belum diamandemen? Sehingga kebangkitan hanya akan menjadi keniscayaan. Dan semua menejemen “amandemen” kemanusiaan itu telah tertuang dalam doktrin klasik tasawuf dan ulama serta Kiai Pesantren.

Belajar dari India Kuno

Mungkin kalau ada survei internasional tentang jumlah badan hukum, maka Indonesia akan menjadi negara terkaya hukum dan undang-undang karena hampir setiap langkah rakyat diawasi hukum ada aturan berikut sangsinya. Mulai dari persoalan merokok dan parkir di tepi jalan, tapi kenapa Indonesia tetap menjadi negara yang terkorup, tertinggal, ugal-ugalan, perang saudara, dan kericuhan lainnya yang menunjukan citra negara yang tidak berhukum. Kalaupun terjadi persidangan kasus juga masih belum membuat masyarakat puas karena masih tebang pilih, dalam istilah Gus Dur dan main mata.
Sesungguhnya kita sudah kebanjiran hukum bahkan hampir membuat rakyat takut hidup di Indonesia, kalau semua aturan dan undang-undang diimplementasikan secara konstitusional. Tapi sebaliknya justru Indonesia malah menjadi mainan masyarakat dan pilihan orang (koruptor) asing karena nikmat dan indahnya hidup di Indonesia yang ringan hukumnya bahkan bisa dinego.
Karena itu, sudah saatnya kita kembali belajar dari sejarah India kuno yang pernah mencapai kemajuan, kesejahteraan, keadilan, kewibawaan, dan kemandirian sebagai negara yang bermartabat sehingga bisa membuktikan diri sebagai negara yang kuat bahkan bisa menjadi contoh negara lain, sekalipun miskin hukum dan undang-undang. Berikut adalah diskusi sejarah dua tokoh legendaries Alexander dan penguasa India, seperti yang dituturkan Al Mawardi dalam kitabnya Adab Al Dunya Wa Al Din:
”Alexander penguasa Mesir pernah dibuat kagum dan takjub dengan keberhasilan pemerintahan India dalam membangun negerinya, memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya sehingga menjadi negara yang maju dan kuat hanya dengan beberapa departemen dan hukum atau undang-undang.
Kemudian ia bertanya: Kenapa di negara Anda sedikit sekali departemen dan undang-undangnya berbeda dengan negara kami, tapi anda bisa maju dan mensejahterakan rakyat sehingga menjadi negara yang bermartabat dan berdaulat? Mereka menjawab: Itu semua karena kami selalu menjalankan dan memberikan hak dan kewajiban kami kepada rakyat, pertama.
Kedua, karena sifat adil, jujur dan bijak yang dimiliki penguasa kami. Lalu Alexander bertanya lagi: Lebih baik mana keberanian atau keadilan? Mereka menjawab: Jika kita mau bersikap adil dalam memimpin negara, maka kita tidak butuh keberanian.”
Dialog dua penguasa itu jelas menjadi pelajaran bagi masyarakat dan pemerintah sekaligus menjadi bukti bahwa yang kita butuhkan sekarang dalam membangun Indonesia adalah keadilan, bukan keberanian seperti kritikan banyak orang bahwa SBY harus berani menangkap koruptor kelas kakap dan para propokator. Karena keberanian tanpa didasari sikap adil hanya akan menimbulkan efek negatif yang lebih besar.
Benar kalau sekarang pemerintahan SBY belum berlaku adil karena masih tebang pilih.
***
Karena itulah pengembangan dan perbaikan menjemen mental dan spiritual saat ini jauh lebih penting daripada pengembangan menejemen politik formal seperti amandemen, penambahan badan pengawas dan lembaga lainnya. Karena hukum, badan pelaksana dan sanksi yang ada sudah lebih daripada cukup sebagai modal menjaga dan membangun Indonesia dan membangkitkannya, tinggal bagimana mental pelakunya. Siapa yang tidak takut dengan peran Mahkamah Agung sebagai lemabag hukum tertinggi di republik ini. Tapi apa jadinya Negara ini jika semua jaksa dan hakimnya bisa disuap, seperti kasus Jaksa Urip dengan Artalita Suryani? Begitu juga DPR sebagai lembaga tertinggi Negara yang seharusnya bisa memproduksi kebijakan yang berpihak kepada Negara dan rakyat, kini justru telah menjadi sarang ”penyuapan” kelas tinggi.
Berangkat dari realitas itu ada beberapa hal yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan Indonesia.
Pertama, percepatan penataan pendidikan (agama) agar semua pemeluk agama bisa menjalankan perintah dan keyakinan agama masing-masing. Karena rendahnya perhatian pemerintah kepada pendidikan agama (khsusnya Islam) telah melahirkan kekecewaan pemeluknya dan pementahan bahkan pendangkalan akidah sehingga dapat mejadikan masyarakat kurang memahami keyakinan dan ajarannya. Kalau keyakinan sudah hilang, maka orang akan mudah berbuat apa saja tanpa malu, takut dan merasa berdosa, termasuk korupsi. Karena pengamalan ajaran agama masing-masing adalah kunci pertama perbaikan mental masyarakat dalam mengisi pembangunan.
Kedua, pemimpin yang adil. Ia adalah hukum yang berbicara sementara Alquran (juga lainnya) adalah hukum yang diam dan mati tidak bergerak. Sehingga dengan kekuatan dan kekuasaannya itulah Allah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada pemimpin daripada Alquran. Sifat inilah yang sudah dicontohkan oleh rasulullah sebagai Alquran hidup dalam menghadapi dinamika dan problematika sosial, etnis, suku dan Agama baik di Makkah maupun Madinah.
Ketiga, Keadilan yang mutlak sebagai modal utama suksesnya pembangunan Negara dan masyarakat yang beradab dan bermartabat. Ada beberapa faktor hilangnya keadilan di Indonesia: Pertama, sifat rakus yang menjangkiti hati para penguasa dan masyarakat, mereka menjadikan masa jabatannya sebagai kesempatan menumpuk kekayaan untuk bekal hidup dihari tua. Sifat dan pemikiran inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk berbuat apa saja. Kedua, hilangnya sifat malu.
Sekarang banyak orang mengatakan kebenaran tapi juga tidak malu melakukan kesalahan. Berapa banyak hakim yang mengadili koruptor tapi ternyata ia juga melakukan kolusi dan nepotisme dengan terdakwa sehingga sama-sama masuk penjara. Dengan hilangnya sifat malu, maka orang tidak akan bisa berbuat adil. Karena rasa tidak malu bisa mendatangkan sifat-sifat buruk lainnya.
Keempat, perlindungan dan keamanan yang menyeluruh bagi setiap masyarakat. Rasa aman dan perlindungan terhadap hak-hak warga Negara saat ini belum bisa dirasakan bangsa Indonesia baik dalam apalagi luar negeri. Kenyataan ini juga telah memicu instabilitas yang mengganggu percepatan pembangunan ekonomi dan politik internasional. Apalagi saat ini Indonesia masih minim peralatan pengamanan darat, laut, dan udara bahkan tertinggal jauh dari negara lain. Sehingga tidak dapat memberikan rasa aman, apalagi perlindungan yang diharapkan masyarakat juga para investor.
Kelima, Kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyat. Faktor hancurnya ekonomi dan politik Indonesia lebih disebabkan karena tidak terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyat kecil. Hal ini lebih disebabkan karena faktor monopoli dan inkonsistensi pemerintah dalam mengimplemenatsikan hukum perdagangan dan ekonomi yang dapat mengganggu iklim investasi yang bisa mensejahterakan rakyat.
***
Tidak adanya rasa aman, kesejahteraan, keadilan, ketegasan hukum bagi rakyat dan merosotnya mental masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi globalisasi ekonomi, pasar bebas dan tantangan politik luar negeri semua itulah faktor utama kehancuran Negara saat ini. Dan untuk mendapatkan semua itu harus didukung dengan konsentrasi pemerintah kepada pendidikan agama (akhlak) bukan hanya pendidikan politik seperti yang selama ini terjadi.
Beragama belum cukup tanpa mereaktualisasikan nilai-nilai sufisme (akhlak) dalam kehidupan sehari-hari, seperti pemahaman dan penerapan taubat, ikhlas, sabar, tawakal, ridla, takut kepada Allah SWT dan sifat-sifat lainnya yang bisa mendekatkan manusia kepada penciptanya. Karena sifat-sifat rasulullah yang diajarkan dan diamalkan kaum tarekat hakekatnya adalah konsep pembangunan manusia dan kebangkitan dunia seutuhnya.
Dengan mereaktualisasi semangat sufisme dalam bernegara berarti kita telah mampu mengamandemen menejemen moral bangsa dan rakyat, sehingga kita tidak lagi butuh amandemen dan menambah hukum atau undang-undang, kecuali jika tuntutan keadaan bukan kepentingan. Maka, bangkitlah Indonesiaku, semoga.
DR. KH. Ahmad Najib Afandi, MA** Ketua Yayasan Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!