Syariat Ilahi dan Gosip Arab(isasi) Agama

Oleh : Nasrulloh Afandi*)

wajar rasanya bila sekarang-sekarang ini komunitas Muslim di luar liberalisme, pun balik menyatakan bahwa para penganut liberalisme dan saudara-saudaranya (sekularisme, pluralisme dan sejenisnya) itu, adalah komunitas yang terinfeksi virus ‘Barat-isme’. Mereka galak mengkampanyekan ‘Inggris-isasi agama’ dengan berpegang teguh pada ‘kitab suci’ berbagai kepentingan sempit. Cukup realistis dan sangat adil bukan umat liberalis dianugerahi sebutan tersebut —sebagai anti tesis: Arabisme dan Arab-isasi agama yang gencar mereka lontarkan?

Akhir-akhir ini ada banyak oknum, baik individual maupun komunal, yang mengaku delegasi dari institusi tertentu, gencar menghujani mayoritas Muslimin Indonesia dengan gosip: “Kronis terjangkit virus Arab-isme”. Sehingga mayoritas (Muslimin Indonesia) memiliki asumsi bahwa dalam beribadah harus serba ke-Arab-araban. Sekilas, hunjaman gosip itu cukup menggelikan, namun perlu diantisipasi efeknya yang sungguh membahayakan orisinilitas syariat Ilahi.

Fenomena tersebut, mencuat kembali setelah terjadinya shalat dua bahasa (Arab-Indonesia) yang dikomando oleh mantan preman sekaligus mantan petinju, Yusman Roy, di Malang, Jawa Timur, Mei 2005. Sampai kini, gosip ‘Arabisasi agama’ bertambah deras dihunjamkan di tengah bergolaknya pro-kontra RUU APP. Oleh oknum-oknum tertentu, isu Arabisasi terhadap bangsa Indonesia juga diangkat dan dijadikan ‘kitab suci’ untuk landasan gerak menolak RUU APP.

Dalam kaca mata syariatul Islamiyah, perspektif ushul al-fiqh, para pengecer gosip Arabisme agama itu, wajar untuk dinyatakan bahwa mereka kurang maksimal dalam menalar eksistensi orisinilitas sumber-sumber syariat Islam. Mungkin juga, mereka sengaja membuat sensasi dengan berbagai kepentingan sempitnya, dan tidak memperhatikan efek samping dari tindakannya.

Jati Diri Agama

Diturunkannya Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi semua. Dalam Alquran, jelas tidak terdapat satu ayat pun yang menyatakan bahwa diturunkannya Islam adalah khusus bagi orang-orang berbahasa Arab atau orang yang punya hubungan darah dengan bangsa Arab. Tetapi, tidak bisa dipungkiri, kemampuan berbahasa Arab untuk mengkaji orisinilitas sumber-sumber syariat Islam, berpengaruh signifikan dan tidak bisa disepelekan.

Perlu untuk selalu diingat, esensi dari opini Imam Al Ghazali dalam karya spektakulernya, Al-Mustashfa, menjelaskan, totalitas sumber hukum Islam dipetakan jadi dua. Pertama, dalil (argumen) yang terdapat kesepakatan antarulama untuk menerapkannya. Kedua, dalil yang terdapat perbedaan pandang antarulama untuk menerapkannya.

Semua sumber itu bernaung di bawah satu atap, yakni Alquran. Menurut tokoh tauhid, Imam Abi Hasan Al As’ary dalam kitab Maqolat Al Islamiyin, tidak ada yang mengingkarinya, bahwa Alquran merupakan sumber utama totalitas syariatul Islamiyah. Mayoritas ahli ilmu Alquran menyatakan bahwa di antara bagian dari definisi Alquran secara terminologi adalah firman Allah Swt berbahasa Arab.

Atas dasar substansi-substansi tersebut. Di sini kita dapat menyimpulkan, jelaslah untuk memahami apalagi menggali totalitas dalil-dalil syar’i itu, penguasaan terhadap gramatika bahasa Arab (nahwu, sharaf, ilmu badi’, ma’ani, dan bayan) adalah hal sangat menentukan atau syarat mutlak. Logisnya, bila tanpa menguasai bahasa Arab dengan berbagai elemennya, akankah maksimal langkah untuk memahami berbagai orisinilitas sumber-sumber dalil syar’i tersebut?

Skandal wacana

Ulama terdahulu sangat banyak menjembatani lajunya cakrawala pemikiran Islam. Hal ini terbukti dengan dikembangbiakkannya pengajaran ilmu mantiq (ilmu logika Aristoteles), yang menurut Imam Al Ghozali adalah ilmu manajemen berpikir, untuk menyelamatkan manusia dari perselingkuhan pemikiran. Sampai kini ilmu tersebut masih marak diajarakan di berbagai pesantren.

Skandal yang banyak terjadi sekarang adalah, dengan keterbatasan pengetahuannnya dan dorongan popularitas, sebagian orang mencampakkan esensi orisinilitas ajaran Alquran dan memberangus hasil ijtihad para imam madzhab. Mayoritas komunitas penganut ”Islam Liberal” berdalih bahwa fungsi pemikiran liberal adalah pembangkit gerak ilmiah. Pada kenyataannya, gerbong pemikiran mereka ‘kebablasan dan tidak jelas’ akan ke mana orientasi dan muaranya.

Sedangkan risiko telah kaburnya orisinilitas syariat Islam akibat ulah mereka, sungguh nyata. Di antara fenomenanya, mereka mensucikan opini para orientalis (non-Muslim yang menkaji ilmu dan tentang keislamandari perspektif akademis-Barat), sebagai senjata untuk menghujat hasil ijtihad para imam madzhab Islam. Alhasil, isu membangkitkan pemikiran Islam itu, jelas hanyalah dalih irasional dari pemuja liberalisme belaka. Realistis bukan? Memang cukup tepat ungkapan seorang pujangga Arab, yang sudah sangat sering kita dengar: Ambillah kebaikan darimanapun datangnya.

Tetapi perlu diingat, Alquran surat Al Baqarah ayat 120, menegaskan: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu (Muslimin) sampai kamu mengikuti agama mereka.”

Pemikiran para orientalis Yahudi-Nasrani Barat kini sering dijadikan ‘kitab suci’ sumber utama hukum Islam oleh orang-orang yang mengaku pemikir Islam kontemporer di Indonesia. Padahal, mungkinkah para orientalis Barat itu berpikir untuk kemajuan Islam? Kalaulah tanpa kepentingan sempit, komunitas ilmiah pastilah mengatahui substansi jawabannya.

Kalaulah opini para orientalis Barat itu hanya dijadikan sebagai pelengkap wacana, tentu tidaklah masalah. Namun tidak demikian kenyataannya. Anehnya lagi, mereka mengangkat opini orang-orang yang tidak jelas itu sebagai argumentasi untuk menginjak hasil ijtihad para imam madzhab. Sungguh aneh!

Para pengusung liberalisme menganggap langkahnya itu untuk membangkitkan gerbong pemikiran. Ibarat bertempur, sekarang ini liberalisme kekurangan ‘musuh’ karena ‘intelektual muda’ mulai banyak mengusung liberalisme. Kader ”konservatisme” agama sangat minim. Medan pertempuran pemikiran tidak seru lagi.

Menjamurnya sarjana pengangguran yang berpacu ke arena pemikiran Islam adalah embrio unggul bagi liberalisasi. Tentunya dengan orientasi peluang penghasilan materi. Mereka datang dari aneka-ragam latar belakang akademik (bukan hanya dari program studi ke-agamaan). Hal itu jelas mendorong keroposnya landasan ilmiah (keagamaan) para ‘pemikir Islam’ itu.

Wabah Inggris(isme)

Apakah para pengecer gosip ‘Islam Arab-isme’ itu lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa orisinilitas Alquran adalah berbahasa Arab? Realitasnya, entah atas dasar apa? Orang-orang yang menganggap dirinya ‘cendikiawan muslim kontemporer’ itu, dengan kalimat ‘agama Arab-isme’, terus membabi-buta mencemooh umat Islam yang berpegang kepada hasil ijtihad para imam madzhab.

Karenanya, wajar rasanya bila sekarang-sekarang ini komunitas Muslim di luar liberalisme, pun balik menyatakan bahwa para penganut liberalisme dan saudara-saudaranya (sekularisme, pluralisme dan sejenisnya) itu, adalah komunitas yang terinfeksi virus ‘Barat-isme’. Mereka galak mengkampanyekan ‘Inggris-isasi agama’ dengan berpegang teguh pada ‘kitab suci’ berbagai kepentingan sempit. Cukup realistis dan sangat adil bukan umat liberalism dianugerahi sebutan tersebut sebagai imbalan atas gossip Arab-isme dan Arab-isasi agama yang gencar mereka lontarkan?

Dengan mengakses pemikiran para orientalis, mereka menganggap dirinya ‘mujtahid kontemporer’ dan patut dijadikan panutan dalam berbagai aspek asas-asas beribadah. Melalui tulisan-tulisannya, mereka sangat bangga mengutip buku-buku berbahasa Inggris. Seolah-olah merasa ketinggalan zaman, bila tulisannya tidak disertai kutipan atau variasi dari buku berbahasa Inggris.

Memang sering kedapatan kemampuan bahasa Arab mereka apa adanya.

Singkatnya, komunitas liberalis dan ‘saudara-saudaranya’ itu, tidak berlebihan bila dinyatakan terjangkit ‘Islam Inggris-isme’. Keroposnya orisinilitas syariat Islam dalam beragama adalah di antara risiko dominan dari maraknya wabah ‘Islam Inggris-isme’. Berbagai jaringan pemikiran Islam, memang harus terus selalu diperluas dan dikembangkan, sebagai upaya estafet peradaban agama, dan tentunya dengan kedewasaan ilmiah.

Ikhtisar:

v Mayoritas (Muslimin Indonesia) dituduh bahwa dalam beribadah harus serba ke-Arab-araban. Tuduhan ini banyak datang dari kalangan liberal.

v Para pengecer gosip Arabisme agama itu, wajar untuk dinyatakan bahwa mereka kurang maksimal dalam menalar eksistensi orisinilitas sumber-sumber syariat Islam.

v Untuk menggali totalitas dalil-dalil syar’i, penguasaan terhadap unsur-unsur bahasa Arab adalah hal sangat menentukan.

v Dengan keterbatasan pengetahuann dan dorongan popularitas, sebagian orang mencampakkan esensi orisinilitas ajaran Alqur an.

*) Penulis alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sejak 2004 melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Universitas Karaouiyine, Maroko, bidang Ushuluddin. Saat ini sedang merampungkan tesisnya pada program pascasarjana Universitas Qodhi’iyyadh, Maroko, bidang Fikih Kontemporer.

Sumber; Republika, Jumat, 2 Juni 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!