Tarik Ulur A-la Pesantren: Antara Kurikulum Tradisional dan Formal

303463_620
Sumber gambar: tempo[dot]co

Dr H. A. Najib Afandi, MA

Kenyataan itu ternyata membuat kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal sesunnguhnya itu semua adalah kiat politik Orde Baru dalam mengkebiri pendidikan agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan kesempatan agamawan dari kelompok tradisoinalis dalam pemerintahan. Hal itu tampak mencolok sekali kalau kita kembali kepada sejarah pemerintahan Orde Baru yang memperketat peran ulama dalam berdakwah dan mengajar santrinya. Kenyataan itu ternyata secara tidak disengaja dapat melegitimasi pemerintahan dan sistemnya yang salah.

Memang sepanjang sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasi dan dikendalikan kaum nasionalis dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan pendidikan tradisional (pesantren salaf dan madrasah) dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dan puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah tidak diakuinya Ijazah Pesantren dan madrasah diniyah dalam sistem pemerintahan.

***

Akhir-akhir ini banyak tokoh nasional, organisasi, golongan, dan pemikiran jadi pihak tergugat bahkan terdakwa: pihak yang menyesatkan dan membingungkan ummat karena statusnya bukan sebagai kaum santri atau tidak pernah belajar mengaji di Pesantren; ilmu dan pegetahuan agamanya terbatas. Sehingga, segala pemikiran dan apa yang dilakukannya dianggap tidak berarti dan menyimpang. Maka, tidak perlu mendapat perhatian. Bahkan sikap ini telah melahirkan dikotomi antara kaum pesantren/ santri dengan yang bukan santri atau kaum nasionalis. Apapun kelebihan dan kehebatan mereka dalam bidang dakwah akan dianggapnya sebagai kaum karbitan yang pas-pasan ilmunya.

Pesantren tradisional (salaf) memang telah terbukti dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, keilmuan, dan keagamaan sebagai lembaga tertua di Indonesia yang telah mampu dan berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang tangguh, dan benteng aqidah ummat. Bahkan hampir semua pesantren dan kiainya dalam sejarah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia terlibat merebut dan aktif dalam pertempuran melawan penjajah. Bahkan tidak sedikit santri-santri pesantren tempo dulu jadi tokoh nasional yang terkemuka dan disegani karena perannya sebagai pahlawan, cendikiawan, dan pemimpin ummat yang ikhlas. Tapi semua kebesaran pesantren salaf itu kini telah pudar, maka seharusnya kita tidak lagi harus menghakimi’ orang lain sebagai kiai kalender” atau ”kiai karbitan”. Karena, kiai karbitan dan kiai kalender itu sesungguhnya kini lahir dari pesantren masa kini (baca artikel penulis: Pesantren Dulu, Sekarang, dan Nanti).

Pascakemerdekaan pesantren tradisional masih tetap mampu membuktikian peran dan posisinya sebagai lembaga keagamaan yang behasil mencetak tokoh-tokoh kaliber dunia. sebut saja, antara lain, Syekh Rifai Kalisalak (dengan pesantrennya di Kalisalak), Syekh Soleh Darat (dengan pesantrennya di Darat Semarang). Mereka mampu melahirkan ulama besar Jawa abad XVIII dan XIX. Misalnya, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asyari. Begitu juga Syekh Nuruddin Al Raniri di Aceh, Yusuf Al Makasari, Burhanuddin Ulakan, dan lainnya. Dari ulama Aceh dan Sumatra juga Palembang semuanya telah mampu mencetak ulama besar. Sehingga, kini kita rasakan barokah ilmu mereka.

Prakemerdekaan jumlah pesantren sangat terbatas. Setelah runtuhnya kekuatan Belanda yang sejak awal melarang pendirian dan pengembangan pendidikan keagamaan, jumlah pesantren, ulama, dan santri terus berkembang dengan tetap mempertahankan tradisi dan metode tradisionalnya. Keberhasilannya dalam mencetak ulama dan kiai yang allamah (sangat alim) juga tetap dipertahankan. Hal seperti ini terus beralanjut hingga awal abad XX Masehi.

Keberhasilan kaum sarungan itu ternyata mampu mengundang kekhawatiran kaum nasionalis akan kejayaan dan kekuatan yang dimilikinya dalam merebut kemerdekaan. Mereka khawatir tergeser dari peran mengisi pembangunan Indonesia kedepan.

Kekhawatiran itu sangat beralasan mengingat pesantren sebagai model pendidikan tertua dan pertama di Indonesia dan diakui masyarakat keberhasilan peran alumninya, maka pantas kalau kemudian legitimasi itu harus dihilangkan. Karena, dengan legitimasi itu kaum tradisionalis akan mudah untuk mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin bangsa dan negara sehingga kesempatan kaum nasionalis untuk maju menjadi pemimpin akan tertutup.

Kemungkinan kedua pengganjalan itu juga terjadi karena kaum nasionalis merasa paling berjasa merebut dan mengisi kemerdekaan. Maka, hanya mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi pemimpin dan pejabat negara dengan ijazah negeri yang mereka miliki.

Dari kekhawatiran dan kesalahpahaman itu lahirlah pertarungan’ antara kaum tradisonalis dan nasionalis yang berlanjut kepada pengganjalan dan perebutan hak dan kesempatan kerja dalam pemerintahan. Jelas, tindakan seperti itu telah memojokkan dan merugikan kaum tradisonalis yang bekerja dan belajar dengan ikhlas tanpa tujuan duniawi: jabatan, pencarian gelar, dan Ijazah.

Namun, ketulusan usaha mereka itu justru membuka jalan lain yang bisa mengangkat kedudukan kaum tradionalis yang lebih tinggi dari jabatan dan kedudukan kaum nasionalis dihadapan rakyat, yaitu sebagai kiai, ulama, atau ustadz (=pembimbing spiritual masyarakat) yang lebih dikagumi dan disegani dari pada jabatan. Dan posisi ini juga tidak bisa terbantahkan oleh jabatan dan kedudukan pemerintahan mereka. Keadaan ini juga telah melahirkan ketakutan baru kaum nasionalis dengan diperketatnya kegiatan keagamaan kuam sarungan.

Memang sepanjang sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasi dan dikendalikan kaum nasionalis dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan pendidikan tradisional (pesantren salaf dan madrasah) dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dan puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah tidak diakuinya ijazah pesantren dan madrasah diniyyah (sekolah berbasis keagamaan) dalam sistem pemerintahan.

Kenyataan itu ternyata membuat kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal sesunnguhnya itu semua adalah alat politik Orde Baru dalam mengkebiri pendidikan agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan kesempatan agamawan dari kelompok tradisoinalis dalam pemerintahan. Hal itu tampak mencolok sekali kalau kita kembali kepada sejarah pemerintahan Orde Baru yang memperketat peran ulama dalam berdakwah dan mengajar santrinya. Kenyataan itu ternyata secara tidak disengaja dapat melegitimasi pemerintahan dan sistemnya yang salah.

Sehingga secara tidak sadar keadaan seperti itu menuntut banyak kiai dan pesantren untuk berpikir kedepan bagi para santrinya agar setelah lulus belajar mereka bisa menjadi pegawai negeri sipil, seperti lazimnya pelajar yang lain. Dari sinilah (tepatnya sejak tahun 80-an) terjadi perubahan besar-besaran kurikulum pendidikan di pondok pesantren tradisonal. Yaitu, banyaknya pesantren salaf merubah diri menjadi pesantren (modern dan sejenisnya) yang mengikuti tuntutan pemerintah demi selembar ijazah [yang setara dengan sekolah formal].

Kini, dalam perkembangan terakhirnya justru banyak pesantren yang telah merubah diri dari salaf jadi modern justru gagal’ meneruskan cita-cita pendirinya. Pesantren tak lagi memenuhi harapan masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang mampu mencetak ulama, kiai, dan ustadz yang allamah. Pesantren tak lagi mengeluarkan alumni yang mumpuni dalam kitab kuning (=turats; khazanah Islam klasik) dan ilmu agama. Konsekwensinya, kini masyarakat melihat bahwa banyak pesantren tidak ubahnya sebagai pendidikan formal biasa pada umumnya karena tidak lagi mampu mempertahankan peran dan posisi awalnya.

Maka, kalau demikian faktanya, apakah selembar ijazah negeri lebih penting daripada memepertahankan kesalafan pesantren yang terbukti mampu mengkader dan mencetak santri yang allamah (=cendikiawan) dan berahlakul karimah? Dan apakah kita akan rela wadah para ulama (NU) yang menjadi harapan masyrakat Indonesia nantinya (dan sekarang sudah) banyak dipegang oleh orang-orang yang tidak bisa dan kenal dengan kitab kuning yang menjadi magnet masyarakat? Dan ketika pesantren salaf tidak lagi ada apakah pesantren modern akan mampu menggantikan perannya? Dan yang pasti kini banyak pesantren berpikir yang penting banyak santrinya daripada berpikir bagaimana santrinya.

Sumber: www.lirboyo.com, Tanggal : 18.05.2008, 05:35

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!