Rahasia di Balik Kesuksesan Revolusi Tunisia

TunisiaApa Rahasia di Balik Kesuksesan Revolusi Tunisia? Mengapa Revolusi Tunisia bisa berjalan mulus, damai: tanpa perang saudara? Catatan A. Muntaha Afandie, mahasiswa Departement of Arabic Manouba University ini mengulas tanpa sedikit pun yang terlewatkan.

Bukan hanya di ruang baca perpustakaan, di bus dan metro pun saya sering melihat orang-orang yang akan terbenam di ufuk barat memegang koran. Tidak hanya satu, kadang dua sampai tiga oplah koran dari kamar redaksi yang berbeda.
Menurut saya ini baik, sehingga pembaca yang membaca kasus dari pelbagai sumber tidak mudah terbawa arus satu media, tapi memiliki scond opinion, dst. Tidak seperti di negeriku yang umumnya fanatik dengan satu media, alergi dengan media “lawan.” Ironisnya, menelan bulat-bulat, lalu menggebug tetangga dengan keimanan yang baru ia dapatkan. Sedihnya tuh disini.

***

Saya terkadang merasa malu pada orang yang telah senja yang duduk disamping saya. Ia mampue bertahan lama di ruang baca, sedangkan saya setiap dua sampai tiga jam saja sudah tidak betah. Saya terpaksa “menghibur” diri di kafe yang ada di lantai dasar perpustakaan nasional. Berbeda dengan pak tua, saya membayangkan ia membaca buku seperti petapa suci dalam epos-epos karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo: tenang, menikmati keheningan ruangan. Pikirannya hanyut terseret arus perkata yang ia baca.

Tentram.

Pemandangan itu yang saya rasakan setiap datang ke Perpusnas, tak sekali dua kali saya melihatnya. Tempatnya istiqamah. Al-istiqamah afdlal min alf al-karamah, kata pepatah yang familiar di kalangan santri tradisional (saya menghindari memakai istilah yang sudah dibajak tentangga: salaf. Juga lebih membumi, tidak kearab-araban). Konsisten dalam berbuat lebih baik dari seribu jenis keistimewaan apapun.

Tapi, entahlah, saya ragu orang-orang negeri ini mengenal adagium-adagium semacam itu. Saya hanya tahu bahwa generasi tua negeri ini memikiki animo baca yang tinggi.

Bukan hanya di ruang baca perpustakaan, di bus dan metro pun saya sering melihat orang-orang yang akan terbenam di ufuk barat memegang koran. Tidak hanya satu, kadang dua sampai tiga oplah koran dari kamar redaksi yang berbeda.
Menurut saya ini baik, sehingga pembaca yang membaca kasus dari pelbagai sumber tidak mudah terbawa arus satu media, tapi memiliki scond opinion, dst. Tidak seperti di negeriku yang umumnya fanatik dengan satu media, alergi dengan media “lawan.” Ironisnya, menelan bulat-bulat, lalu menggebug tetangga dengan keimanan yang baru ia dapatkan. Sedihnya tuh disini.

Pemandangan orang-orang lapar melahap alinea-alinea kata pun bisa saya saksikan juga di loper koran. Banyak pengguna jalan berhenti sejenak, berjejer memasang sepasang mata masing-masing, membaca berita yang terpampang di halaman pertama. Tanpa menyentuh. Hanya satu dua pasang tangan yang merogoh kantong untuk memboyong hasil blusukan kurir tinta. Sisanya, negoloyor pergi setelah “selesai” mengeruk berita di halaman awal tiap etalase koran.
Lalu bagaimana generasi mudanya? Terkadang di sini saya bingung antara menjadi orang jujur dengan sedikit “penghianat” fakta, tapi agar tak ada dusta diantara kita, maka saya akan katakan apa adanya: generasi muda lebih suka terperosok ke dalam lobang kebodohan dengan terpesona telepon pintar. Senyum-senyum dengan benda mati bernama Somed. Berapa prosentasenya?

Embohlah!!! Bukan urusan saya meski degradasi ini terasa begitu drastis! Akuloh rapopo.
Kecuali jika cak lontong mau membiayai dan jadi mitra survey saya. Sebab tidak semua generasi muda terbuai pesona dunia maya, banyak pula yang lebih menikmati citarasa literasi.

***

Berkat animo baca yang tinggi, sebagai tolok-ukur (meski bukan satu-satunya) kesuksesan pendidikan, Tunisia mampu melewati masa krisis dengan apik. Tanpa tinta merah dalam catatan sejarah transisi keuasaan dari Ben Ali ke Moncef Marzouki, dan sekarang Beji Caid el Sebsi.

Berbeda dengan tetangga-tetangganya yang sadar atau tidak, telah jadi domba aduan di ujung jari-jari maut Izrail, masyarakat Tunisia tak mudah diprofokasi. Mereka memiliki kedewasaan yang matang. Misalnya, memposisikan diri sebagai CCTV yang merekan setiap jejak kerja dan mengawal eksekutif dan legislatif, bukan sebagai duri dalam tulang pemerintahan yang kerjanya koar-koar, apalagi sampai menebar racun bagi ketentraman.

Sehingga pemerintah mampu meracik, memasak, dan sekarang sudah berhasil menghidangkan menu undang-undang yang baru. Itu kembali lagi dari, diantara faktornya, terciptanya iklim membaca yang kuat, melihat isu-isu politik dari pelbagai segi, dan tentunya keberhasilan pendidikan.

Kini, pemerintah mulai berbenah ketertiban kota yang selama ini terbengkalai. Pedagang kaki lima yang meng-gosob jalan raya mulai dimusiumkan. Semoga makin baik dan tentram. Sehingga harapan menjadi Negara yang subur makmur lohjinawi, segera terwujud.

Bukti apalagi yang masih kau dustakan: eksistensi dan kemajuan suatu negara bisa terjamin dan terwujud bila pendidikan generasi mudanya sudah tercapai? Kata-kata ngeles apalagi yang akan terdengar untuk meruntuhkan tesis mbah jo: membaca itu suatu gizi yang dibutuhkan bukan hanya bagi otak, tapi juga bagi masyarakat sekitar pemilik kepala yang menyimpan otak itu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka obrolan
Hi, ada yang bisa kami bantu?
Jika membutuhkan informasi terkait Pondok Pesantren As-Syafi'iyyah, silahkan klik tombol chat sekarang!