Oleh: Razqa Ananda Putra – Santri Kelas VII B, asal Ciputat Tengerang Selatan
Suatu sore di pinggiran kota Tangerang Selatan, kisah bermula dari seorang anak bernama Rangga. Ia tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah yang penuh tentram. Agaknya keluarga Rangga sedikit risau, karena kepribadian (akhlak) Rangga yang kurang baik. Maka dari itu, dengan penuh berat hati Rangga di masukan ke pondok pesantren. Harapannya, kepribadian Rangga dapat berubah dan membanggakan kedua orang tua.
“Nak, ibu masukan kamu ke pesantren ya”, ucap ibu dengan lembut.
“Gak, bu!”, tegas Rangga.
“Mau apasih maksa banget”.
Karena bentakan Rangga yang keras ayah pun terkejut dan menghampiri mereka berdua dan berkata: “Ada apa teriak-teriak”, ucap ayah kaget.
“Berisik”, saut Rangga.
“Astagfirullah, nak” ucap ibu.
Rangga pun mengambil sebuah gelas kaca lalu membantingnya, prakk! Sebuah gelas kaca pecah dan berserakan di lantai. Serpihan kaca mengenai kaki ibunya, “Aduh”, ucap ibu sambil menahan sakit.
“Tunggu bu, ayah akan mengambil obat” ucap ayah.
Tanpa merasa bersalah Rangga langsung lari, keluar rumah. Sementara ayah segera mengobati kaki ibu yang terluka.
Waktu telah berlalu, hari terus berganti. Sikap Rangga semakin tidak terkontrol, dan hari dimana Rangga akan berangkat ke pondok pesantren semakin dekat. Hal ini membuat Rangga semakin jengkel karena harus mengikuti keinginan orang tuanya.
“Aku harus mencari cara agar aku tidak jadi mondok”, ucap Rangga.
Keesokan harinya seperti biasanya ibu menyiapkan sarapan. Sementara ayah membangunkan anak-anak dan bersiap untuk berangkat kerja.
“Nak ayo bangun waktunya sarapan” ucap ayah pada Rangga. Namun Rangga tak kunjung bangun sementara adiknya telah bangun lebih dahulu.
“Rangga bangun ini sudah pagi” ucap ayah dengan sabar.
Rangga menimpali dengan kasar, lalu berkata “apasih, gak mau, cepat pergi”.
”Astaghfirullah nak, harusnya kamu bersyukur kamu masih punya orang tua yang menyayangi, melindungi, dan mendidik kamu”, tegas Ayah.
***
Hari dimana Rangga berangkat ke pondok pesantren pun tiba. Segala sesuatunya telah disipakan oleh kedua orang tuanya. Namun nampaknya Rangga punya rencana lain, ia tengah bersiap hendak kabur dari rumah. Ia mengendap-endap lewat pintu samping dan baru saja akan keluar rumah, “Aduh! Bagaimana bisa”, batin Rangga setelah melihat ayahnya.
Dari dalam rumah, Ibu menimpali, ”Nak ayo berangkat semua sudah siap”.
Di tengah tengah perjalanan, Rangga terbangun dan menyadari bahwa mobil yang di tumpangi memasuki tol Jakarta – Cikampek, berarti mereka tak lama lagi akan sampai. Menyadari hal itu, Rangga mengamuk bagaikan cacing kepanasan. “Aku gak mau mondok”, teriak Rangga sembari memukul wajah ayahnya.
Karena ulah Rangga, mobil yang di kendarai seketika hilang kendali dan nyaris menabrak mobil lain di depannya. Untungnya ayah langsung menginjak pedal rem. Lalu mobil berhenti di pinggir jalan tol, “Astaghfirullah, nak”, ucap ayah sambil menghela nafas.
Setelah melalui drama yang tidak mudah dan menghabiskan beberapa jam perjalanan. Rangga dan keluarga, akhirnya sampai di pesantren yang di tuju.
***
Setelah berpisah Rangga pun termenung, hari sudah masuk malam, setelah sholat isya Rangga bersiap untuk tidur. Keesokan harinya Rangga memulai hari dengan sholat shubuh berjamaah, lalu mengaji Al-Qur’an, sarapan, dan berangkat sekolah.
Mengawali kegiatan siang hari, Rangga mulai belajar beberapa kitab berbahasa Arab, sala-satunya kitab tentang akhlak. Pengalaman yang baru dan pertama bagi Rangga, memulai belajar di madrasah diniyyah.
Diantara kitab yang Rangga pelajari adalah Kitab Akhlak al-Banin dan Taysir Al-Khlalaq. Dalam satu bagian dari kitab tersebut ada pembahasan bagaimana sikap anak menghormati kedua orang tua, seperti cara berbicara, mengatur prilaku, hingga larangan yang tidak boleh dilakukan anak kepada orang tua. Hingga Rangga pun menyadari bahwa sewaktu di rumah akhlak/adab Rangga sangat buruk, dan ia juga menyadari alasan kenapa banyak orang tidak suka padanya, bahkan termasuk orang tuanya sendiri.
Mulai saat itu, Rangga beranji untuk terus berubah dan bisa membanggakan kedua orang tuanya. Merubah cara bicaranya, perilaku, dan bagaimana mengahadapi orang tua yang benar dan penuh sopan santun.
Waktu penjengukan pun tiba, orang tua Rangga mulai menyadari bahwa ahlak Rangga mulai berubah, perlahan tapi pasati.
“Assalamu’alaikum. nak”, ucap ibu Rangga.
“Waalaikumsalam. Bagaimana kabarnya, ibu dan ayah sehat?”, ucap Rangga.
“Alhamdulillah nak, ibu dan ayah sehat. Kalau kamu gimana?”
“Alhamdulillah sehat, bu”, jawab Rangga.
Akhirnya Rangga dapat kembali melepas rindu bersama keluarganya, satu bulan sekali. Perlahan tapi pasti, kedua orang tuanya mulai melihat perubahan dalam diri Rangga. Dan yang pasti, Rangga saat ini bukan lagi Rangga yang dulu. Kini Rangga siap berubah dan ingin membanggakan kedua orang tuanya.
(*) Cerpen santri ini merupakan Juara III dalam Festival Hari Santri Nasional, yang dilaksanakan pada 20-21 Oktober 2025.
