INDRAMAYU – Pengasuh Pesantren Asy- Syafi’iyyah Kedungwungu, Krangkeng, Kabupaten Indramayu, KH Ahmad Najib Afandi, meraih penghargaan dalam Kongres Sufi Internasional di Maroko. Makalah yang dipaparkan oleh kiiai NU itu dinyatakan sebagai makalah terbaik.
Dalam kongres yang diselenggarakan The Internatioal Academic Center of Sufi and Aesthetic Studies (IACSAS) di kota Fes Maroko, 9-12 Mei 2017 itu, pria yang akrab disapa Gus Najib tersebut menyampaikan makalah dengan judul ”Pengaruh Tasawuf Maroko terhadap Interaksi Sosial Masyarakat Indonesia”. Makalah itu memaparkan tentang data pengaruh tasawuf Maroko terhadap keberagamaan di Indonesia.
Atas presentasi yang disampaikannya di hadapan delegasi lain dari 40 negara itu, Gus Najib menerima penghargaan sebagai pemakalah terbaik. Penghargaan diberikan langsung oleh Direktur IACSAS, Syeikh Dr Aziz al-Chubaeti. Makalah itupun akan diterbitkan menjadi buku.
“Di antara bukti persambungan antara Islam dan tasawuf Indonesia dengan tasawuf Maroko adalah bahwa setelah berdirinya Maroko di wilayah Afrika yang subur, ulama mereka telah membuka akses untuk ekspansi ke Timur guna berdakwah dengan membawa karya-karya monumentalnya sehingga tersebarlah mereka di wilayah Timur sampai memiliki banyak murid,” kata Gus Najib, Ahad (14/5).
Dengan data tersebut, Gus Najib yakin bahwa sangat mungkin perjalanan ulama-ulama itu sampai ke Jawa terjadi setelah pertemuan mereka dengan orang Jawa di Tanah Suci, Mekah. Hal itu, katanya, dapat dibuktikan dengan banyaknya ulama yang dimakamkan di Jawa dengan nama Syeikh al – Maghribi.
Sementara, bukti adanya hubungan intelektual secara langsung dengan ulama Maroko adalah banyaknya pelajar Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Maroko. Di antaranya, Syeikh Abdul Hadi (abad IX) dari Kerajaan Buton yang berguru kepada Syeikh Said al Maghribi dan Syech Muhamad Nafis Al-Banjari (1710-1812 M) murid dari Syeikh Abdurahman bin Abdul Aziz al Maghribi.
Gus Najib memaparkan, sisi lain yang menjadi bukti persambungan dan pengaruh tasawuf Maroko di Indonesia adalah karya para sufi Maroko. Seperti misalnya, “Asyifa” karya Qadi Iyad, “Dalail Khaerat” karya Syeikh al-Jazuli, “Jawahirul Ma’ani dan Salawat “al-Fatih” karya Syeikh Attijani.
“Banyak juga tarekat yang didirikan oleh ulama Maroko kini besar di Indonesia, seperti As-Sadziliyah, At-tijaniyah, Al-Ahmadiyah (Ahmad bin Idris al-Maghribi [1760-1837 M]),” kata pria yang juga Rektor Sekolah Tinggi Islam al-Hikmah Brebes itu.
Gus Najib menambahkan, bukti lain yang menguatkan adanya hubungan Islam Indonesia dengan Maroko adalah adanya persamaan ornamen ukiran kayu (yang kaya warna) di atap sejumlah masjid di Maroko dengan yang ada di bangunan warisan budaya Indonesia. Di antaranya, Masjid Sunan Gunung Jati dan Masjid Said Naum, Kebon Kacang, Jakarta.
♦ Sumber artikel republika.co.id dengan judul asli “Kiai NU Raih Penghargaan Konferensi Sufi Internasional di Maroko”