Hotman Siahaan, pria kelahiran Lumban, Gorat, Bagile, Sumatra Barat, resmi jadi guru besar bidang Ilmu Teori Sosial Modern, pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, dengan pidatonya ”Gerakan Sosial Politik Rakyat: Ontran-ontran Demokrasi,” Sabtu (12/3/2005).
Lalu, bagaimana pandangan pria yang sering diundang jadi pembicara dalam pelbagai diskusi dan seminar ini terhadap peran politik pesantren? Berikut petikan wawancara Ahmad Muntaha Afandie.
Menurut Anda, bagaimana peran politik pesantren, saat ini?
Peran politik pesantren, menurut saya, punya posisi politik yang sangat hebat di pedesaan. Para kiai itu adalah legitimator. Apakah kekuasaan ini masih punya moralitas apa tidak. Dalam sejarah pesantren punya peranan sangat strategis. Karena itu, saya sangat gembira ketika banyak kiai datang (dalam acara pengukuhan saya sebagai guru besar, red).
Saya bahagia betul karena gerakan rakyat itu banyak dimulai dari pesantren juga, selama ini.
Kalau peran politik pesantren di perkotaan, bagaimana?
Biasanya diambil alih oleh aliansi-aliansi kekuatan sosial. Apakah partai politik. Lsm lsm biasanya begitu.
Kenyataannya pesantren juga banyak yang di perkotaan?
Benar. Tapi pesantren kan lebih banyak di desa, dari pada di kota. Artinya, peran mereka tetap terhadap rakyat. Biar di kota, biar di desa, peran mereka tetap terhadap kelas bawah; keterpihakan mereka terhadap lapisan bawah.
Menurut saya, itu harus dipertahankan. Kerena apa? Karena pesantren nempaknya ditarik-tarik oleh kekuasaan kelas atas. Biar dikembalikan pada penguatan-penguatan kepada masyarakat.
Nampaknya, pesantren tidak bisa berkiprah di dunia politik, kenapa?
(Pesantren, red) berkiprah bukan pada dunia politik, ngapain? Dia berkiprah pada civil society bukan pada political society; pada masalah sipil, bukan pada masalah politik.
Maksudnya, pesantren tidak perlu ikut-campur dalam dunia politik?
Ia. Karena apa? Karena mereka ada yang ditarik pada kekuasaan. Tidak kembali pada koornya. Tidak semua pesantren tertarik pada kukuasaan, (masih, red) ada yang begitu punya kekuasaan ke bawah.
Dalam bidang pendidikan, pesantren juga seakan dianak tirikan, kenapa?
Siapa bilang menganak-tirikan! Ketika pesantren masuk pada negara jadi problem, menurut saya, pondok pesantren tidak boleh masuk pada negara. Dia menjadi pada civil society. Kalau dia minta pengakuan ijazah pada negara, buat apa? Bukan di situ (negara, red).
Sehingga, kala dia (pesantren, red) masuk ke situ, dianak tirikan jadinya. Karena apa? Karena negara punya standar-standar yang berbeda pada tingkat pendidikan. Bagi saya, pesantren nggak perlu kesana. Pesantren tetap berada dalam penguatan-penguatan civil society itu. Okey.[]
Sumber: Misykat edisi XIII, tahun ke-2, April 2005